Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Demi "Legacy", Jokowi Nekat Pindahkan Ibu Kota

Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Tribunnews

Saya yakin, Presiden Jokowi akan dikenang sebagai presiden paling nekat dalam sejarah Indonesia. Sudah cukup banyak kebijakan Jokowi yang "wow" sejak dilantik menjadi Presiden Ketujuh RI pada 2014 lalu. Dimulai dengan proyek listrik 35 ribu MW, yang saat itu dikritik habis-habisan banyak kalangan bahkan oleh menterinya sendiri: Rizal Ramli. Memang, proyek listrik dengan investasi triliunan rupiah itu hingga kini belum rampung, meski ditargetkan selesai tahun 2019 ini. Bahkan separuhnya saja belum ada. Tetapi yang jelas, Jokowi telah memulai, apapun risikonya.

Kenekatan Jokowi belum berhenti. Megaproyek pembangunan MRT dan LRT kemudian didengungkan bahkan sejak Jokowi masih menjabat Gubernur DKI Jakarta. Hal ini menegaskan bahwa visi besar Jokowi terhadap masa depan Indonesia adalah pembenahan infrastruktur, yang sebagian besar dimulai dari Jakarta. Tak peduli biaya yang harus digelontorkan, Jokowi tancap gas. Ia menyebutnya sebagai keputusan politik. Dengan kata lain, Jokowi siap "pasang badan" asalkan ambisinya tercapai. Itulah yang dimaksud dengan keputusan politik.

Proyek MRT dan LRT diketahui bukan proyek kecil, tetapi butuh investasi besar-besaran. MRT yang sepanjang 223 kilometer membutuhkan investasi Rp 214 triliun. Sedangkan LRT sepanjang 116 kilometer menelan biaya Rp 60 triliun. Hal ini jelas membuktikan Jokowi tak main-main, apapun risikonya.

Semua pasti setuju kalau aksi paling nekat Jokowi adalah memindahkan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Sejak dirancang sejak era Soekarno, pemindahan pusat pemerintahan dari Jakarta akhirnya terwujud di tangan Jokowi. Itu berarti Jokowi lebih "nekat" ketimbang lima presiden sebelumnya.

Soeharto saja, yang berkuasa 32 tahun urung mewujudkan rencana pemindahan Ibu Kota ke Jonggol, Jawa Barat. Padahal jarak Jakarta-Jonggol sangat dekat, mirip Kuala Lumpur ke Putrajaya. Sementara Jokowi hanya butuh 5 tahun untuk menggotong Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, menyeberangi lautan dan membelah hutan. Betul-betul nekat.

Padahal di era digital sekarang, memindahkan pusat pemerintahan pada dasarnya tidak lagi efisien bila didasari pertimbangan letak geografis sebuah bangsa. Di manapun lokasi Ibu Kota, sebetulnya sudah dengan mudah dijangkau oleh teknologi bernama internet. Maka pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, kurang tepat bila ditinjau dari aspek kecanggihan teknologi.

Namun lagi-lagi, Jokowi memang berbeda. Ia merupakan satu-satunya Presiden yang sangat rajin blusukan. Bahkan bisa sampai 3 hari di satu tempat hanya untuk memastikan seluruh program yang dirancangnya telah berjalan dengan sempurna. Padahal kalau mau, berkat kecanggihan teknologi, Jokowi bisa dengan mudah memantau seluruh Indonesia sambil duduk manis di Istana. Berteman secangkir kopi dan sepiring ubi rebus.

Sebuah "legacy", itulah yang tampaknya ingin dipersembahkan Jokowi sebagai orang nomor satu di negeri ini. Ia nekat memindahkan Ibu Kota dengan segala pro kontra yang langsung menyeruak. Sehingga pemindahan Ibu Kota bukanlah semata-mata atas pertimbangan teknis belaka, tetapi juga menyangkut nilai-nilai filosofis dari seorang Jokowi. Bahwa ia ingin dikenang sebagai Presiden yang berani mengambil keputusan politik.

"Legacy" bisa dimaknai sebagai warisan yang punya nilai historis mendalam. Jokowi tak ingin dikenang sebagai Presiden yang biasa-biasa saja, hanya menuntaskan masa tugasnya tanpa proyek "mercusuar" yang abadi.

At all risk and at all cost, Jokowi nekat memindahkan Ibu Kota demi sebuah "legacy".




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline