Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Gaji Pertama Cuma Sejuta, Dicopet Pula

Diperbarui: 26 Juli 2019   15:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gaji (Tribunnews)

Siang merambat sore, saat saya bersama seorang "bos" berdiri di trotoar Jl DI Panjaitan, Jakarta Timur, 12 tahun silam. Menunggu kedatangan bus jurusan Priok-Cawang, bus tua yang kini tak lagi beroperasi.

Hatiku riang, lantaran si bos baru saja menyerahkan uang segepok. Ya, satu juta rupiah. Itu gajiku selama sebulan bekerja. Walau hanya sejuta, uang itu sudah terbilang banyak untuk ukuran saya kala itu. Seorang pengangguran yang merindukan pekerjaan. Itulah gaji pertama yang saya terima. Si bos berpesan, agar tetap setia bekerja kepadanya. Saya mengiyakan.

Bus yang ditunggu pun tiba. Penuh sesak penumpang, saya pamit ke Pak Bos lalu meloncat lincah ke dalam bus. Menyelinap di antara kaum urban lain. Ongkos Rp 3 ribu kusiapkan di kantong depan celana. Di kantong yang sama, saya meraba uang segepok tadi, oh masih ada.

Bus terus melaju hingga tiba di Kampus UKI, Cawang. Pemberhentian terakhir meski di situ tak ada terminal resmi. Cuma "bayangan". Saya kemudian berpindah bus, kini jurusan Cikarang-Rambutan. Tak terlalu penuh hingga bisa duduk dengan nyaman. Sedap.

Malang tak bisa ditolak, itulah yang terjadi berikutnya, sesampai tiba di Kampung Rambutan, tujuan akhir saya. Saat menyusuri jalan menuju rumah kontrakan, tanganku meraba kantong celana. Omaigat....uangnya sudah tiada. Hilang. Saya mendadak lemas.

Kucek kembali, tetap kosong melompong. Kuperiksa, kantong celana dalam posisi aman, tak ada bolong. Fix, saya kena copet. Keringat dingin. Kucoba mengingat kembali, tahap demi tahap perjalanan kurang lebih dua jam itu.

Dugaan kuat mengarah ke bus Priok-Cawang, dicopet saat berdesakan dengan penumpang lain. Yang saya heran, kok bisa ya tangan pencopet sampai tak terasa masuk ke dalam kantong celana.

Sesampai di kontrakan, saya hanya bisa pasrah. Sembari bercerita ke teman-teman satu kontrakan yang dengan iba mendengar kisah itu. Mereka menyemangati, hanya itu.

Tetapi hari wajib terus berlanjut. Saya tetap bekerja walau harus kembali dililit utang. Pengalaman itu tak mungkin saya lupakan, juga menjadi pelajaran agar lebih hati-hati menyimpan uang tunai. Barangkali, kalau saat itu sudah ada GoPay, tentu nasib sial itu tidak akan pernah ada.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline