Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Bos Hanura Ditolak KPU, Lebih Sakti PTUN atau MK?

Diperbarui: 5 April 2019   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Kompas.com

Mana lebih tinggi, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konstitusi (MK)? Kalangan umum pasti setuju kalau MK merupakan lembaga pengadilan terakhir alias satu tingkat di bawah pengadilan Tuhan.

Jika sudah diputus MK, maka terjadilah. Buktinya sudah banyak, dari perkara pilkada hingga urusan judicial review sebuah UU. Tidak ada lagi jalan samping maupun jalan belakang. Pokoknya selesai.

Tetapi ternyata tak selamanya begitu. Setidaknya itu yang bisa saya pahami atas peristiwa hari ini. Sebab, dua minggu menjelang pencoblosan, ternyata masih ada masalah yang hingga kini tersangkut di Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Yakni, belum dimasukkannya nama Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), periode 2019-2024. Sampai-sampai, Presiden Jokowi harus turun tangan dengan mengirimkan surat kepada KPU agar nama OSO tetap dimasukkan.

Surat Presiden itulah yang dituding banyak pihak sebagai bentuk intervensi kepada KPU. Padahal, menurut Menteri Sekretaris Negara, Pratikno seperti dilansir jawapos.com, Jumat (5/4/2019), surat Jokowi ke KPU merupakan tindak lanjut dari surat PTUN Jakarta.

Dalam putusan PTUN, OSO dinyatakan sah sebagai calon anggota DPD meskipun saat ini merangkap sebagai Ketum Hanura. Namun, KPU menolak putusan PTUN tersebut dengan alasan bahwa putusan MK Nomor 30/2018 telah melarang calon Anggota DPD memiliki jabatan kepengurusan di partai politik.

Karena KPU menolak, maka PTUN merujuk pada UU PTUN pasal 116 dan UU No 51 Tahun 2009 sehingga Ketua PTUN berkirim surat kepada Presiden. Dalam UU tersebut disebutkan, Ketua Pengadilan mengajukan surat kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi untuk memerintahkan kepada pejabat tersebut melaksanakan putusan pengadilan.

Sehingga surat Jokowi ke KPU merupakan langkah yang memang boleh ditempuh sesuai UU. Surat tersebut bukanlah bentuk intervensi kepada KPU sebagai lembaga yang independen. Pertanyaannya, apakah surat Jokowi akan dituruti KPU atau tetap bersikukuh menaati putusan MK sebelumnya?

Jika surat Jokowi dituruti KPU kemudian memasukkan nama OSO sebagai calon anggota DPD, maka putusan MK yang selama ini dipercaya lebih sakti dari pengadilan manapun akan otomatis gugur. Sebaliknya, apabila KPU menolak permintaan Presiden, maka KPU telah mengabaikan perintah dari pemegang kekuasaan tertinggi. Bahkan, perintah itu bukan asal perintah tetapi juga berlandaskan UU.

Kalau sudah begini, hanya pakar hukum yang berkompeten menjawabnya. Dalam kasus ini, sebaiknya KPU menuruti permintaan Presiden atau tunduk terhadap putusan MK? Saya tidak tahu lagi mana yang lebih "sakti" di antara keduanya.

Menurut Anda?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline