Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport (4)

Diperbarui: 24 Februari 2019   00:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokumentasi Freeport

Pembahasan spesifik terkait karut-marutnya dunia pertambangan versi Simon Sembiring mulai terlihat pada Bab 4 (Hal-hal yang Tertunda). Seperti pada bab sebelumnya, Simon kembali menyentil betapa licinnya PT Freeport Indonesia. Juga tentang bagaimana tegasnya Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan yang siap bertarung dengan Freeport di pengadilan arbitrase. Di saat yang sama, Simon mengaku kecewa terhadap pejabat teras Kementerian ESDM yang cenderung takut terhadap ancaman arbitrase yang dilontarkan Freeport.

Dalam Bab ini, Simon mengungkapkan 5 hal yang tertunda setelah UU Minerba diberlakukan. Antara lain belum adanya peraturan pelaksana UU Minerba yang lebih tegas khususnya terkait pengendalian produksi, penetapan wilayah pertambangan (WP), amandemen KK dan PKP2B, penyidik PNS di lingkup pertambangan, serta (masih) tertundanya pembangunan smelter.

Baca Juga: Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport (3)

Akan tetapi dari kelima hal yang tertunda itu, pembahasan yang sangat menarik menurut saya adalah terkait penetapan WP. Kenapa? Karena ternyata izin pertambangan masih bisa leluasa diterbitkan meski tanpa adanya penetapan WP terlebih dahulu. Ironisnya lagi, Simon mengungkap masih ada perusahaan tambang yang bahkan tidak mempunyai NPWP. Bagaimana mungkin? Faktanya itu banyak terjadi.

Padahal, obral izin pertambangan itu seharusnya tidak terjadi setelah UU Minerba diterbitkan pada 2009. Sehingga pada kurun waktu 2009-2012, kepala daerah di seluruh Indonesia sedikitnya telah menandatangani 10 ribu izin tambang. Celakanya, sebanyak 5 ribu izin tambang itu belakangan diketahui bermasalah. Barulah pada 2012, kebijakan moratorium pertambangan diterbitkan Kementerian ESDM. Sebuah kebijakan yang tentunya sudah terlambat.

Foto: Dokumentasi Pribadi

Seperti di bab sebelumnya, Simon kembali galau karena kewajiban membangun smelter oleh Freeport Cs juga tak kunjung terjadi. Hingga Simon tiba pada suatu dugaan buruk: bahwa argumentasi yang dilontarkan perusahaan tambang selama ini hanyalah upaya untuk mengulur-ulur waktu. Tujuan sebenarnya adalah revisi UU Minerba yang pasal demi pasal di dalamnya, akan banyak menguntungkan bagi mereka.

Pada Bab ini, Simon juga bercerita tentang bagaimana PP No 1 Tahun 2017 yang merupakan Perubahan Keempat atas PP No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Mineral dan Batubara. Meski memberikan sedikit kelonggaran, PP No 1 Tahun 2017 ini tetap memuat pesan serius: kewajiban divestasi 51%, perubahan KK menjadi IUPK, serta kewajiban membangun smelter.

PP terbaru ini menurut Simon, merupakan jalan terbaik guna melindungi kepentingan negara, termasuk perusahaan swasta nasional yang berskala menengah ke bawah. Mereka diberikan kelonggaran 5 tahun lagi untuk membangun fasilitas smelter. Selama membangun smelter, perusahaan yang sebelumnya dilarang mengekspor bijih mentah, kini kembali diperbolehkan asalkan memenuhi aturan yang telah ditetapkan pemerintah.

Lantas, apa yang terjadi dengan Freeport? Kini bukan soal smelter, tetapi sesuatu yang jarang terungkap ke muka publik. Yakni, tentang pembelian participating interest/PI (saham partisipasi) sebesar 40% PT Rio Tinto di Freeport Indonesia. Ada apa dengan PI Rio Tinto? Kenapa pemerintah harus menggelontorkan dana besar untuk membeli saham tersebut? Simon membahasnya lebih detail pada bab berikutnya.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline