Usai menjabarkan filosofi lahirnya UU Minerba pada Bab 1, Simon kembali menyinggung UU Minerba pada Bab 2 (Regulasi yang Dibutuhkan). Namun Simon kali ini mengulasnya lebih kompleks, dengan mengurai persoalan pertambangan sejak era kolonial Belanda hingga era reformasi. Merunut sejarah aturan pertambangan itu, menurut Simon, sangat penting guna menangkap "suasana kebatinan" pada saat aturan tersebut diberlakukan. Bahwa kelahiran sebuah produk hukum selalu berkaitan erat dengan situasi pada zamannya.
Simon kemudian memaparkan aturan pertambangan di era Belanda, saat masih menggunakan produk hukum Indische Mijn Wet 1899. Di zaman Belanda, penguasaan tanah hanya diberikan kepada partikelir, yakni orang swasta Belanda ataupun orang pribumi yang dianggap berjasa. Dari sini jelas bahwa penguasaan tanah saat itu belum sesuai dengan semangat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Meski begitu, produk hukum Belanda itu masih tetap digunakan Indonesia hingga tahun 1960.
Barulah di era Presiden Soekarno, diberlakukan UU No 10 Tahun 1959 tentang Pembatalan Hak-Hak Pertambangan, yang secara otomatis menghapus berlakunya Indische Mijn Wet 1899. Kemudian, pada 1960, setelah Soekarno mendekritkan UUD 1945, Indonesia kemudian memiliki UU No 37 Prp Tahun 1960 tentang Pertambangan dan UU No 44 Prp Tahun 1960 tentang Minyak dan Gas Bumi. Di sini, cerminan Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945 sudah terlihat.
Perubahan pun kembali terjadi pada tahap selanjutnya, ketika Soeharto menggantikan Soekarno. Situasi ekonomi Orde Baru yang masih morat-marit kala itu membutuhkan tindakan cepat untuk menyelamatkan perekonomian nasional.
Baca Juga: Kegalauan Simon Sembiring dalam Kemelut Divestasi Freeport
Lalu lahirlah UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sampai di sini, "suasana kebatinan" yang melatarbelakangi lahirnya UU PMA dan UU Pertambangan di era Soeharto adalah adanya kebutuhan modal besar untuk membangun bangsa.
Freeport Indonesia sendiri merupakan PMA pertama yang ditandatangani Soeharto pada tahun 1967. Dengan kata lain, Freeport adalah perintis masuknya PMA pertambangan ke Indonesia yang belakangan disadari tidak lagi relevan dengan amanat UU No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
Saat PMA seperti Freeport berinvestasi besar-besaran, dan diikuti PMA di tambang maupun sektor lain, roda perekonomian dalam negeri memang bergerak cepat. Hingga 1990, Indonesia kemudian terkenal sebagai negara yang produksi kekayaan alamnya berlimpah-ruah. Tak hanya tambang, tetapi juga komoditas lain seperti kayu, kakao, termasuk perikanan. Namun sayangnya, produksi dalam negeri yang melimpah itu justru kurang banyak dinikmati bangsa Indonesia, tetapi justru dibawa "lari" ke luar negeri.
Kabar baik datang setelah bergulirnya Era Reformasi pada 1998. Setahun setelah reformasi, lahirlah UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah atau sering disebut UU Otonomi Daerah. Adapun "suasana kebatinan" di balik lahirnya UU ini adalah memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengelola seluruh kekayaan alamnya dalam kerangka NKRI.
Tetapi apa yang terjadi? Para kepala daerah khususnya bupati/wali kota justru terjebak dengan euforia reformasi. Berubah menjadi "raja-raja kecil" yang rajin mengobral izin pertambangan tanpa mempertimbangkan aspek lain terutama aspek lingkungan. Bencana pun terjadi, selain merusak lingkungan, banyak kepala daerah yang kemudian harus berurusan dengan penegak hukum seperti marak terjadi belakangan ini.
Atas berbagai pertimbangan itulah, pemerintah dan DPR kemudian menerbitkan UU No 4 Tahun 2009 atau yang dikenal sebagai UU Minerba. Kini "suasana kebatinan" kembali berubah yakni menjadi semangat merebut kembali kekayaan alam Indonesia untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Negara (pemerintah pusat) hadir sebagai pengendali kebijakan sentral, meski tetap melibatkan pemerintah daerah sebagai salah satu aktor pengendali.