Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Jelajah Papua Barat, Secercah Asa dari "Surga Kecil" Bintuni

Diperbarui: 15 November 2018   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana Teluk Bintuni (Pribadi)

Pesawat mendarat mulus di Bandara Rendani, Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat. Bandara yang terletak di bibir pantai itu masih sepi.

Belum ada pesawat berbadan besar yang terparkir di Minggu pagi, tepat pada Hari Pahlawan 10 November 2018. Hanya ada tiga pesawat perintis yang terlihat berbaris rapi. Lega rasanya saat menuruni pesawat setelah menempuh 4 jam perjalanan di udara, dari Cengkareng ke Rendani.

Selama 3,5 jam penerbangan, pemandangan di luar pesawat masih gelap gulita. Namun menjelang mendarat, sinar siluet sinar mentari mulai perlahan muncul di langit Papua. Saat mendarat, Papua sudah menikmati sinar matahari terlebih dahulu. Meski berangkat pukul 00.00 dari Jakarta, tetapi waktu tiba di Rendani menunjukkan pukul 06.00. Terdapat selisih waktu dua jam yang seolah bertambah akibat perbedaan waktu antara Jakarta dan Manokwari.

Dari Rendani, saya bersama dua orang kolega melanjutkan perjalanan darat menuju Teluk Bintuni, sebuah kabupaten hasil pemekaran dari Manokwari. 

Hamparan pantai dan lautan luas terlihat sangat indah di sepanjang perjalanan. Dan, di sinilah petualangan yang sesungguhnya. Menumpangi mobil bergardan dua, perjalanan darat selama 8 jam tersebut terasa sangat mendebarkan. Laju mobil terasa seperti di Formula 1, injak gas sekuat tenaga di atas aspal yang memang cukup lebar dan mulus.

Tapi tenang saja, para supir di sini sudah sangat terlatih. Mereka sudah memahami seluk-beluk kontur jalan dengan baik. Buktinya, supir mampu melewati jalanan menanjak hingga 45 derajat dengan trek meliuk-liuk. Bila salah perhitungan, kemungkinannya ada dua: mobil tak kuat menanjak atau bisa 'kejebur' ke jurang yang berujung di bibir pantai.

Sekitar 4 jam dari Manokwari, laju mobil mendadak tersendat. Jalan sepanjang 23,4 kilometer harus dilewati selama 1 jam. Itu karena kondisi jalan masih belum layak. Kondisinya masih berlumpur sehingga menyulitkan kendaraan untuk melaju lebih cepat.

Lepas dari jalan berlumpur, mobil kembali melesat bak peluru. Kiri-kanan jalan masih didominasi semak belukar dan hamparan hutan muda. Sesekali, ada kantong-kantong pemukiman yang disebut dengan kampung. Di bahu jalan, terlihat plang nama kampung yang sedang dilintasi. Oh ya, secara administratif, sebutan kampung di Papua setingkat dengan desa, sementara distrik setingkat dengan kecamatan.

Usai menempuh perjalanan kurang lebih 8 jam, mobil yang kami tumpangi akhirnya tiba di Teluk Bintuni. Meski telah berstatus ibukota kabupaten, daerah ini masih relatif sepi bila dibandingkan dengan Manokwari.

Masyarakat di Bintuni dihuni berbagai macam suku dan agama. Adapun suku asli terdiri dari 7 suku. Di luar suku asli, maka sebutannya adalah suku Nusantara yang banyak berasal dari wilayah Sulawesi dan Maluku. Kristen, Katolik, dan Islam merupakan agama paling banyak di daerah ini. Gereja Protestan dari berbagai denominasi banyak berdiri di sepanjang Bintuni, jauh lebih banyak dari Gereja Katolik. Seingat saya, terdapat 3 mesjid cukup besar yang berdiri di Bintuni.

Meski daratan Bintuni masih terlihat 'tidur', tetapi di lautannya terkandung kekayaan alam luar biasa, khususnya minyak dan gas (migas). Itulah kekayaan utama Bintuni. Di lautan Bintuni, terdapat British Petroleum Indonesia (BP Indonesia), perusahaan migas raksasa asal Inggris. Selain BP Indonesia, perusahaan migas asal Malaysia yakni Genting Oil juga berada di sana.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline