Genap sudah 4 tahun pemerintahan Jokowi-JK sejak dilantik pada 20 Oktober 2014 lalu. Jokowi yang naik tahta dari Gubernur DKI Jakarta menjadi Presiden, sudah cukup banyak melakukan pembangunan utamanya di sektor infrastruktur.
Bahkan dalam sebuah pidatonya, Jokowi mencanangkan visi maritim dengan sebuah penggalan yang spektakuler: kita sudah terlalu lama memunggungi lautan. Indonesia harus menjadi poros maritim dunia. Begitulah cita-cita Kabinet Kerja yang digariskan Jokowi.
Namun saya kali ini tidak sedang ingin membahas sudah sejauh mana visi poros maritim Jokowi berjalan. Tetapi lebih tertarik menuliskan pendapat dua eks menteri yang secara terbuka mengkritik Jokowi.
Keduanya adalah Ferry Mursyidan Baldan yang pernah menjabat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), dan Sudirman Said yang pernah dipercaya sebagai Menteri ESDM. Kritikan keduanya sama, yakni mempersoalkan aksi Jokowi yang terlalu rajin membagi-bagikan sertifikat tanah.
Ferry pertama sekali mengkritik Jokowi saat berbicara di Yogyakarta. Kemudian Sudirman membela pernyataan Ferry di Jakarta. Sudirman merasa apa yang dikatakan Ferry tidak berlebihan. Jika Jokowi terlalu mengurusi sertifikat tanah, lurah dan camat akhirnya tidak mempunyai pekerjaan. Itulah yang disebut Sudirman dengan istilah Presiden rasa Lurah.
Seharusnya, Jokowi sebagai Presiden lebih mengurusi persoalan yang lebih kompleks dan sulit. Bukan mengerjakan hal remeh-temeh seperti membagikan sertifikat tanah kepada rakyat secara langsung. Jokowi tidak perlu mengurusi sertifikat tanah tetapi cukup memerintahkan jajaran di bawahnya agar bekerja dengan tuntas dan cepat.
Sekilas, kritikan dua eks menteri Jokowi ini tentu ada betulnya. Bagaimanapun, Jokowi adalah seorang Presiden yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan luar biasa. Ia memiliki perangkat lengkap dan didukung oleh banyak sumber daya. Sehingga sebagai seorang pimpinan tertinggi, Jokowi tinggal mengatur dan mengarahkan program saja tanpa harus turun tangan secara langsung.
Dalam tataran lebih kompleks, dolar AS yang mengamuk, kian bengkaknya utang luar negeri, maupun impor BBM yang terus mengucur deras, merupakan porsi yang tepat diurusi seorang Jokowi. Bagaimana membangun pondasi ekonomi yang kuat agar kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia bisa tercapai.
Atau bila dikaitkan dengan visi maritim, sudah sejauh kemajuan tol laut sekarang? Juga terkait penggunaan kapal berbendera Indonesia di perairan Nusantara, jangan-jangan kapal berbendera asing masih bebas berlayar di lautan kita. Nah, persoalan strategis seperti itulah yang semestinya menjadi domain Presiden.
Di sisi lain, aksi Jokowi yang rajin blusukan termasuk membagi-bagikan hadiah sepeda juga bisa dinilai sebagai bentuk kedekatannya kepada rakyat. Terlebih lagi, Jokowi ingin memastikan secara langsung apakah program yang dicanangkannya berjalan dengan baik atau tidak.
Sebab bila berkaca pada pengalaman sebelumnya, banyak program pemerintah yang mengalami kegagalan akibat kurangnya pengawasan dari pemimpin pemerintahan.