Beras alias pangan adalah kebutuhan utama di samping sandang dan papan. Itu pelajaran umum yang pasti diajarkan di bangku SD. Bahkan belakangan sudah pula diajarkan di bangku TK. Makin maju saja materi pendidikan kita. Saking pentingnya, beras juga seringkali menjadi sumber pertengkaran dalam rumah tangga. Bayangkan saja kalau tak ada beras, maka sudah pasti tidak makan. Tidak makan nasi lagi lebih tepatnya. Memang masih bisa disubstitusi oleh jenis pangan lain, semisal singkong atau ubi.
Di Depok, Jawa Barat, program one day no rice (sehari tanpa beras) pernah digaungkan Nur Mahmudi Ismail semasa menjabat Wali Kota. Sebuah program yang mengedukasi masyarakat agar tidak terlalu tergantung terhadap beras sebagai sumber karbohidrat utama. Program Nur Mahmudi itu sudah lenyap sekarang, sementara Nur sendiri malah berurusan dengan hukum dalam kasus korupsi pelebaran jalan. Eh, tapi ini bukan soal membahas soal korupsi itu, tetapi murni soal beras.
Barangkali karena selalu dicekoki hiruk-pikuk politik "copras-capres", masyarakat sepertinya tidak terlalu menaruh perhatian terhadap isu beras yang kini sedang menghangat.
Padahal, di kabinet Jokowi saat ini sedang terjadi polemik yang tak kalah penting. Yakni menyangkut soal perlu-tidaknya mengimpor beras. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk segera mengimpor beras sebesar 1 juta ton. Wow, jumlah yang sangat fantastis. Tak disangka, perintah impor itu ditolak tegas Dirut Bulog, Budi Waseso.
Buat apa mengimpor beras kalau persediaan di dalam negeri masih melimpah? Begitulah jawaban sederhana Budi Waseso yang akrab disapa Buwas. Benar juga, impor justru akan membuat pasokan beras melimpah di pasar hingga berpotensi menjatuhkan harga jual. Itu sudah teori umum ekonomi ketika pasokan berlebih maka harga akan turun. Jika harga turun, maka petanilah yang paling dirugikan. Apalagi, impor beras sebesar 1 juta ton sudah pernah dilakukan pada Februari dan Mei 2018.
Masih ada persoalan teknis lain, yakni gudang tempat penyimpanan beras impor itu. Untuk sekarang saja, Bulog sudah harus menyewa gudang tempat penyimpanan beras yang jumlah stoknya kini mencapai 2,4 juta ton. Bila ditambah satu juta ton lagi, tentu akan merepotkan bagi Bulog, dan sudah pasti mengeluarkan biaya sewa gudang lagi.
Menteri Enggartiasto juga tidak disalahkan seratus persen. Ini karena ia hanya menjalankan hasil keputusan bersama. Yakni mengimpor beras hingga 2 juta ton dalam periode 2018. Itu berarti, rencana impor 1 juta ton yang telah dijalankan masih menyisakan 1 juta ton lagi. Di situlah pokok persoalannya. Menteri mematuhi hasil keputusan bersama, sementara Bulog melihat dari sisi kebutuhan dalam negeri. Maka terjadilah polemik impor beras yang kini sedang berlangsung.
Polemik impor beras ini sebelumnya diprotes Rizal Ramli, pakar ekonomi yang juga pernah menjabat Menko Kemaritiman Jokowi. Rizal menyebut impor dilakukan Menteri Enggar karena adanya intervensi dari Surya Paloh. Celakanya, Presiden juga tidak berani menegur Enggar karena takut kepada Surya Paloh.
Akibat pernyataan itu, NasDem 'kebakaran jenggot' hingga mendesak Rizal meminta maaf karena merasa dirugikan dengan penyebutan nama Surya Paloh. Jika tidak, NasDem akan mempolisikan Rizal. Namun, Rizal berkelit, ia sama sekali tidak menyebut NasDem sehingga tuntutan NasDem kepadanya tidak tepat. Walau seperti diketahui, Surya Paloh merupakan Ketua Umum NasDem yang saat ini berkoalisi dengan Presiden Jokowi dalam Pilpres 2019.
Menariknya lagi, isu impor beras ini juga sepertinya luput dari kubu Prabowo-Sandi. Heran saja, kok isu impor yang berpotensi merugikan petani, tidak 'digoreng' oposisi sebagai bahan kampanye negatif terhadap Jokowi. Sedangkan isu 'stuntman' yang sebenarnya tidak relevan, malah digoreng-goreng.
Masa sih seorang Presiden harus melakukan atraksi berbahaya di atas sepeda motor? "Kan gila, bro". Presiden itu simbol negara dan wajib dilindungi, apapun ceritanya. Sehingga mengomentari Jokowi menggunakan 'stuntman' itu seperti kurang kerjaan saja. Kenapa tidak mengkritisi soal impor beras saja, sih?