Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Memetik Pelajaran dari Pencopotan Refly Harun

Diperbarui: 6 September 2018   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Refly Harun (Kompas.com)

"Menjadi netral itu tidak mesti selalu di tengah. Yang lebih penting, membenarkan yang dianggap benar dan mengkritik yang dianggap salah. Tentu sebatas pengetahuan yang kita punya."

Itulah "curhat" Refly Harun yang diunggahnya lewat media sosial twitter miliknya @ReflyHZ, sehari sebelum dicopot sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Jasa Marga (Persero) Tbk. Esok harinya, Rabu (5/9/2018), RUPSLB Jasa Marga secara resmi mengumumkan keputusan itu. Refly dicopot.

Semua tahu bagaimana kiprah Refly sejak masuk dalam lingkaran Kabinet Jokowi per Maret 2015 lalu. Ia justru lebih sering tampil sebagai pakar hukum tata negara, mengisi berbagai diskusi dan memberikan pandangannya terhadap perkembangan hukum-politik di dalam negeri. Kesibukan Refly sebagai Komut Jasa Marga hampir tidak terlihat.

Habis bagaimana, Refly kan sama sekali tidak memiliki pengalaman di bidang infrastruktur khususnya mengurusi jalan tol. Ia murni akademisi yang berkutat di bidang hukum. Lagipula, tugas komisaris di sebuah perusahaan hanyalah melakukan pengawasan kinerja direksi. Bukan pengambil kebijakan layaknya jajaran direksi.

Mungkin karena luangnya waktu sebagai Komut itulah yang membuat Refly tak ingin berdiam diri. Sayang juga kalau pengetahuan yang dimilikinya tidak terpakai. Sia-sia belaka walau tetap berhak menikmati gaji dan fasilitas dari Jasa Marga yang menggiurkan itu. Lalu muncullah Refly ke permukaan, mengomentari berbagai masalah hukum dan politik. Di sinilah "kesalahan fatal" dari seorang Refly.

Bukannya "pasang badan" terhadap kebijakan Jokowi, Refly belakangan malah kerap mengkritik pemerintahan Jokowi. Antara lain, pemilihan menteri Jokowi yang tidak lagi melalui "screening" KPK untuk mengetahui apakah kandidat menteri tersebut bersih dari korupsi.

Refly juga mengkritik penerapan presidential threshold (PT) sebesar 20 persen yang digagas PDIP dan gerbong koalisinya. Mematok PT-20 persen akan menutup kesempatan kaum muda untuk bertarung di tingkat Pilpres karena terbentur persyaratan partai yang cukup berat.

Kritikan dari Refly itulah yang mungkin membuat Jokowi merasa gerah. Sudah digaji miliaran rupiah per tahun tetapi malah menyerang pemerintah. Namun, bagi Refly sebagaimana ia ungkapkan dalam akun twitternya, sikap kritis selama menjabat Komut Jasa Marga hanyalah ingin meluruskan bahwa yang benar adalah benar, dan salah adalah salah. Tidak peduli ia sedang berada dalam lingkaran kekuasaan.

Lalu apa pelajaran yang layak dipetik dari pencopotan Refly? Sederhana saja. Untuk menjadi bagian dari pemerintahan, tidak ada sikap lain kecuali tetap membela apapun keputusan penguasa. Terlepas kebijakan pemerintah tersebut tidak sesuai dengan nurani keilmuan yang dimiliki. Itu syarat yang wajib dijalankan, bukan untuk diprotes apalagi dikritik keras.

Bisa dipastikan, Refly sudah pasti memahami soal aturan main itu. Tak perlu jauh-jauh, Refly sebenarnya bisa belajar dari rekan sejawatnya, sesama komisaris di BUMN. Contoh terdekat, Fadjroel Rachman yang juga menjabat Komut di PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Selama menjabat menjadi Komisaris Utama, Fadjroel selalu membela apapun keputusan pemerintah, baik yang menyangkut Adhi Karya maupun isu-isu nasional yang menyedot perhatian publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline