Kami berpisah usai mengobrol sejam lebih. Ditemani segelas jus dan cemilan ringan, di suatu sore 2010. Walau singkat, pertemuan itu terasa lain dari biasanya. Saat hendak meninggalkan lokasi pertemuan, saya diminta lebih dulu angkat kaki. "Intel tidak pernah satu rombongan," begitu ucap lelaki tua itu, berjas abu-abu dan berkacamata tebal.
Lama tak bersua, saya mencari tahu di mana keberadaan pria itu. Hanya secuil informasi yang bisa terjaring, namun cukup untuk menyimpulkan kalau ia sudah menghadap Yang Kuasa. Umurnya memang sudah tergolong uzur, pada 2010 saja usianya sudah 75 tahun.
Dialah AC Manullang, mantan salah satu Direktur BAKIN (sekarang BIN) yang mengabdi di dunia intelijen selama lebih dari dua dekade. Pria bergelar doktor sosiologi politik dari Universitat Mainz dan Maximilliam Universitait Wurzburg, Jerman Barat (sekarang Jerman). Sebelum melanglangbuana di Benua Eropa, AC lebih dulu menggondol gelar Sarjana Hukum dari Universitas Indonesia.
Selama aktif di BAKIN, AC telah mengikuti berbagai pelatihan intelijen, dari tingkat dasar analisis hingga tingkat akhir strategis analisis di dalam maupun luar negeri. AC bahkan pernah menimba ilmu di badan intelijen Israel, Mossad dan badan intelijen AS, CIA. "Melawan intel Mossad itu mimpi. Nggak mungkin kita menang," begitu penggalan kalimat AC yang juga masih membekas.
Keinginan menemui kembali AC timbul setelah menyaksikan ribut-ribut tentang penolakan Neno Warisman oleh sekelompok massa pada Sabtu 25 Agustus 2018, di Bandara Sultan Syarif Kasim II (SSK II) Pekanbaru, hingga Neno kembali dipulangkan ke Jakarta. Saya ingin mendengar komentar AC tentang Kepala BIN Daerah (Kabinda) Pekanbaru yang terlibat aktif memulangkan Neno. Ditambah keterangan resmi BIN yang mengaku terlibat sekaligus meminta maaf atas pemulangan Neno Warisman guna mencegah terjadinya konflik horizontal.
"Apakah tepat seorang Kabinda turun tangan dalam aksi pemulangan itu? Atau lebih menohok lagi, apakah intel boleh mengaku intel? Ada apa dengan BIN kita?" Itulah pertanyaan yang ingin saya ajukan kepada AC. Namun sayang, ia telah tiada.
Seandainya AC masih hidup, saya meyakini ia akan bersemangat menjawab rentetan pertanyaan itu. Dulu, ketika saya mewawancarai AC mengenai kapal Sinar Kudus yang dirompak di perairan Somalia, ia mengkritik keras Presiden SBY yang lambat mengambil langkah tegas. Perompak itu seharusnya diserbu oleh Kopassus, yang menurut AC, merupakan pasukan terbaik di dunia. "Tapi kenapa tidak diserbu? Tak lain karena informasi intelijen kita sangat lemah," ujar AC yang merasa kinerja intelijen kurang maksimal.
Dalam kasus Neno, apakah informasi intelijen sangat lemah sehingga pemulangan Neno terpaksa harus melibatkan Kabinda secara langsung? Masih adakah cara lain yang lebih 'santun' agar Neno tidak terkesan mengalami persekusi di negeri sendiri?
Dalam dunia spionase, AC bercerita, tidak ada peristiwa vulgar seperti aksi tembak-menembak yang biasa tersaji dalam film-film Hollywood. Penggunaan senjata sangat jarang dilakukan, tetapi lebih mengandalkan penggalangan serta propaganda. Penggalangan dan propaganda dilakukan secara senyap dan sangat rahasia. Tidak boleh ada ribut-ribut, sehingga operasi berjalan tanpa menyisakan rasa curiga maupun keresahan di tengah masyarakat. Seorang intel bahkan tidak saling mengenal dengan intel lainnya meskipun mereka berada dalam satu naungan lembaga intelijen.
Analis Intelijen Jebolan Eropa
Selama karirnya di BAKIN, AC dipercaya sebagai analis intelijen. Ia bukan agen lapangan seperti James Bond, yang dalam film-filmnya menguasai banyak taktik dan skill, termasuk menerbangkan pesawat. AC bukan seperti James Bond, paling tidak menurut pengakuannya. Tugas AC berkutat menganalisis berbagai peristiwa yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Apakah peristiwa itu berkaitan dengan produk intelijen, siapa yang terlibat, dan apa motif di balik peristiwa itu. "Ini buku kau baca sampai tuntas," begitu perintah AC saat itu.