BABAK I
Hari semakin larut, merambat menuju tengah malam. Udara berkabut setia menyelimuti Pagar Batu yang sunyi, sebuah desa bertembok pegunungan. Di Pagar Batu, matahari cepat terbit dan lekas pula kembali ke peraduan. Itu tak lain karena letaknya yang dikepung pegunungan. Dolok Surungan (Gunung Surungan) namanya. Pagar Batu berada di kaki gunung itu, dengan sedikit hamparan tanah datar berornamen pepohonan hutan yang masih asli.
Penduduk setempat, yang terikat dalam tali kekerabatan dekat, hampir seluruhnya menekuni profesi petani. Mereka bertani kopi, padi, kemenyan, hingga rotan. Tidak ada jaringan listrik, begitu pun tenaga medis. Hanya Sekolah Dasar yang ada di sana, dengan fasilitas pendidikan seadanya. Tetapi dari sanalah sebuah takdir dituliskan.
Di Gendongan Ibunda Tercinta
Madden Siagian masih bayi, enam bulan lebih sedikit. Tetapi ibunda tercinta telah mengajaknya saat menaklukkan kerasnya kehidupan di Pagar Batu. Walau pagi masih berkabut, Madden sudah setia menemani sang ibunda berangkat menuju kebun, menyusuri hutan lebat dengan berjalan kaki selama lebih dari dua jam. "Semua anak-anak saya termasuk Madden, sejak bayi sudah saya gendong ke ladang," kenang ibunda.
Di gendongan ibunda, Madden kecil juga sudah akrab dengan tambahan bawaan lain yang biasa dijunjung ibunda: hasil bumi seperti kopi dan kemenyan. Berjalan kaki selama lebih dari dua jam, menggendong bayi, plus menjunjung hasil bumi. Begitulah rutinitas sang ibunda, yang bisa dilakukannya selama dua kali dalam sehari.
Sepanjang perjalanan menuju atau kembali dari ladang yang berhimpit dengan hutan itu, tak jarang pula sang ibunda menemukan bekas jejak kaki yang cukup memompa adrenalin untuk mengambil langkah kaki seribu. Bekas jejak kaki itu adalah milik harimau, sang raja hutan. "Dulu harimau malah sering mampir ke kampung, karena pinggiran Pagar Batu memang masih hutan asli."
Episode perjuangan itu pun berlanjut ketika sudah tiba di perkampungan. Hasil panen kopi dan kemenyan harus kembali diolah. Yang paling mengernyitkan dahi, biji kopi harus terlebih dahulu ditumbuk di lesung menggunakan tenaga tangan, sebelum dijemur hingga kering. Proses selanjutnya agar siap dijual adalah menumbuk kopi itu untuk kedua kalinya. Sementara kemenyan lumayan mudah karena cukup menjemurnya di terik matahari. "Kalau malam kemenyan juga biasa dijemur di loteng," tutur ibunda.
Madden sedikit beruntung karena tidak ikut berpeluh keringat saat menumbuk hasil panen padi. Kebetulan, saat itu ayahanda Madden, merupakan orang pertama di Pagar Batu yang mempunyai mesin gilingan padi. Itu pula yang menjadi berkah bagi seluruh penduduk desa lantaran tak lagi harus menumbuk padi dengan tenaga tangan.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H