Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Melihat Kemarahan Luhut dari Perspektif Kebudayaan Batak

Diperbarui: 26 Maret 2018   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Luhut Panjaitan (Kompas.com)

"Kalau kau merasa paling bersih kau boleh ngomong. Dosamu banyak juga kok," begitulah pernyataan keras Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan saat menanggapi tudingan "ngibul" dari tokoh politik senior Amien Rais.

Sontak pernyataan keras Luhut itu dimaknai sebagai sebuah ekspresi kemarahan, penuh dendam, dan bahkan arogan. Mentang-mentang sedang berkuasa, Luhut dicap malah sedang memamerkan kekuatan yang mampu menciduk siapapun. Singkatnya, mirip Orde Baru. Kritik sedikit urusannya bisa panjang.

Lalu, betulkah Luhut sedang membawa Indonesia kembali ke zaman Pak Harto? Tanpa bermaksud membela Luhut yang notabene juga berdarah tulen Batak seperti saya, kekhawatiran akan kembalinya rezim Soeharto masih terlalu jauh. Setidaknya, penilaian ini bila mengacu pada tradisi dan budaya yang berlaku dalam tatanan sosial masyarakat Batak khususnya Batak Toba.

Dalam perspektif kebudayaan Batak, ucapan Luhut yang menyebut "memangnya kau siapa", masih dalam tahap biasa-biasa saja. Sekadar ilustrasi, di sebuah Kedai Tuak (Lapo Tuak) di kampung saya, ada peringatan di dinding kayu yang dituliskan menggunakan kapur tulis. Isi tulisannya begini:

1-3 biasa saja

4-6 mulai terasa

7-10 tembok sama rata

11-13 Ambulans

Peringatan 1-3 dan seterusnya itu mengacu pada berapa banyak gelas tuak yang sudah ditenggak para penggemarnya. Jika masih meminum 3 gelas, dapat dipastikan peminumnya masih dalam tahap normal alias belum terdampak alkohol tuak. Tetapi jangan sampai menyentuh level 10 gelas, konsumen mungkin sudah harus dibopong untuk kembali ke rumahnya. Tentu kita sudah tahu apa yang bakal terjadi apabila peminum sudah melewati batas 13 gelas. Label "drunken master" menjadi miliknya.

Begitulah sekilas ilustrasi tentang bagaimana kebudayaan Batak mengekspresikan kemarahannya. Sehingga jika Luhut hanya berucap "memangnya kau siapa", belumlah masuk dalam kategori "kemarahan berat" tetapi masih dalam tahap "kemarahan ringan".

Contoh lain sebetulnya bisa dilihat juga ketika dua putera Batak yakni Hotman Paris Hutapea dan Ruhut Sitompul kerap beradu mulut secara langsung maupun tidak langsung. Bagi sebagian kalangan khususnya di luar Batak, perseteruan keduanya mungkin dipahami sebagai sesuatu yang sudah menjurus anarkis. Tetapi bagi masyarakat Batak, hal-hal seperti itu masih dalam tahap normal. Bukan berarti Hotman-Ruhut bukan sedang marah, tetapi kemarahan keduanya masih tetap dalam kondisi terkendali.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline