Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Sandal Jepit Jokowi dan Pemilu 2019

Diperbarui: 11 Januari 2018   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi bersandal jepit di NTT (Foto: Kompas.com)

Sandal jepit memang sangat nyaman digunakan. Walau nyaman, sandal jepit dilarang keras digunakan bila sedang berurusan ke instansi pemerintah ataupun ke perkantoran milik swasta. Dianggap tidak sopan. Boleh bersandal jepit jika sedang berada di pantai atau sekadar jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Intinya, sandal jepit melambangkan kesederhanaan sekaligus kalah strata ketimbang sepatu.

Meski harganya cukup murah, sandal jepit bukan melulu digandrungi lapisan masyarakat kelas bawah, tetapi juga dinikmati masyarakat berkantong tebal. Bahkan, sekelas Jokowi yang orang nomor satu di Indonesia, belakangan cukup rajin mengenakan sandal jepit. Saat blusukan ke sejumlah daerah seperti Bali, Raja Ampat, dan terakhir di Kupang, pemberitaan media massa selalu mengangkat isu tentang sandal jepit Jokowi.

Tentu tidak ada yang salah dengan sandal jepit. Ia hanyalah alas kaki yang harganya terjangkau dan sangat nyaman digunakan. Akan tetapi, sandal jepit menjadi sangat menarik bila dikaitkan dengan fenomena politik nasional sejak era SBY. Kala itu, saat SBY akan berlaga kedua kalinya di Pemilu 2009, mendadak ada keyakinan SBY akan kembali menang meski dipasangkan dengan sandal jepit sekalipun.

Semua tentu paham, SBY mustahil berpasangan dengan sandal jepit, tetapi menggandeng Boediono yang saat itu popularitasnya terasa timpang jauh dengan SBY. Kendati hanya berpasangan dengan Boediono yang bukan politisi, SBY tetap percaya diri melawan pasangan Jusuf Kalla-Wiranto dan duet Megawati-Prabowo, yang mempunyai jaringan dan basis massa. Hasilnya, SBY-Boediono ternyata sukses menaklukkan Mega-Prabowo dan JK-Wiranto dengan skor sangat meyakinkan, yakni 60,8 persen.

Nah, fenomena SBY dan sandal jepit itu pun sepertinya terulang kembali. Tepat sepuluh tahun kemudian yakni Pemilu 2019 nanti. Jokowi meski disandingkan dengan sandal jepit sekalipun, akan kembali terpilih sebagai Presiden. Prediksi ini mencuat dari sejumlah lembaga survei yang selalu menempatkan Jokowi sebagai posisi teratas. Walaupun memang, hasil survei hanyalah sebuah gambaran dan tidak bisa dijadikan sebagai patokan kebenaran.

Fenomena sandal jepit itu pun kian menguat setelah Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (11/1/2018) menolak permohonan uji materi terhadap pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold (PT) 20 persen. Dengan demikian, pasangan capres-cawapres wajib diusung partai politik yang mempunyai kursi 20 persen di DPR atau 25 persen suara nasional.

Berdasarkan kursi DPR maupun suara nasional, tak satupun partai yang berhak mengajukan capres-cawapres. PDIP sebagai pemenang Pemilu 2014 hanya memiliki suara 18,95 persen. Sehingga, PDIP wajib berkoalisi dengan minimal dengan satu partai lain guna memenuhi kuota 20 persen. Akan tetapi, jauh sebelum putusan MK dibacakan, sejumlah partai sudah mendeklrasikan dukungannya terhadap Jokowi. Antara lain Golkar, NasDem, PKB, dan Hanura. Jika ditotal, perolehan kursi DPR gabungan partai tersebut sudah lebih dari 50 persen.

Dengan demikian, kesempatan capres lain seperti Prabowo Subianto masih terbuka lebar. Dengan catatan, Gerindra, PKS, dan PAN kompak dalam satu paket koalisi sehingga mengumpulkan kuota 25 persen. Itu belum termasuk gabungan suara Demokrat dan PPP yang mencapai 17 persen. Sehingga, jika Prabowo sukses menarik Demokrat dan PPP, akan diperoleh total suara sebanyak 42 persen. Maka kurang-lebih, kekuatan Jokowi dan Prabowo masih terbilang seimbang.

Akan tetapi, mekanisme Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu 2014. Jika Pemilu 2014 didahului Pemilihan Legislatif (Pileg) kemudian disusul Pilpres, Pemilu 2019 akan melaksanakan kedua pemilihan itu secara bersamaan. Konsekuensinya, partai politik sejak awal sudah harus menentukan siapa capres-cawapres yang diusung meski belum mengetahui hasil Pileg terlebih dahulu. Padahal, hasil Pileg biasanya akan menggambarkan sosok capres-cawapres yang "laku" dijual di masyakarat.

Perubahan mekanisme tersebut tentu saja akan menguntungkan Jokowi sebagai petahana (incumbent) Presiden. Ini karena partai cenderung mendukung Jokowi karena lebih menjanjikan dari sisi popularitas maupun elektabilitas. Sementara bagi penantang, semisal Prabowo, kemungkinan besar akan semakin sulit menandingi popularitas Jokowi sebagai presiden sekaligus sebagai capres.

Barangkali, itulah yang membuat Jokowi akhir-akhir ini rajin mengenakan sandal jepit. Jokowi sepertinya ingin menyampaikan kode politik terhadap calon pesaingnya. Dipasangkan dengan sandal jepit saja, Jokowi pasti menang.

Begitu kira-kira.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline