Bulan purnama masih terlihat menawan malam ini, ditemani kerlap-kerlip bintang kecil di kejauhan angkasa. Konon, bulan purnama seperti sekarang ini jarang-jarang terjadi. Menurut ilmuwan yang komentarnya wara-wiri di media daring, saat ini bulan dalam posisi terdekatnya dengan bumi sehingga tampak lebih besar. Saya tidak tahu apakah langit di Eropa sana yang memasuki musim salju juga dihiasi keindahan rembulan. Biarlah mereka yang menjawab.
"Masih mau ngopi nggak," istriku tetiba menghentikan lamunanku. Ah, dasar. Buyar sudah kisah politik yang sedang kunikmati di bawah sinar rembulan, yang malam ini lampu taman sengaja kumatikan. "Hemat listrik, siapa tahu pula dapat penghargaan hemat energi dari Menteri Jonan," pikirku. "Toh cahaya bulan sudah cukup terang."
"Pikirin apa sih," istriku menyela.
"Jokowi-Gatot nih kayaknya Pilpres 2019," jawabku.
"Ah, kirain apaan. Ngggak ngerti politik," katanya berlalu ke dapur. Mungkin ingin menyeduh segelas kopi.
Saya kembali melamun. Mengaitkan peristiwa yang satu dengan yang lain. Mengais informasi tentang seluk-beluk Jenderal Gatot Nurmantyo. Serta mencari apa hubungannya dengan Pilpres 2019 nanti. Tak diduga tanpa disangka, dalam lamunan yang bermandi cahaya rembulan itu, saya menemukan dua kemungkinan politik di balik penggantian Jenderal Gatot sebagai Panglima TNI.
Pertama, Jokowi-Gatot akan resmi berpasangan sebagai Capres-Cawapres 2019. Kedua, Gatot akan berhadapan dengan Jokowi sebagai capres. Jadi ada dua kemungkinan, berkoalisi atau justru pecah kongsi.
Masalahnya, kedua kemungkinan ini memiliki peluang yang sama kuat. Lihat, Jokowi-Gatot dipastikan akan didukung partai politik terutama PDIP dan Golkar sebagai pengusung utama. Dengan bergabungnya Banteng-Beringin mengusung Jokowi-Gatot, sepertinya hasil Pilpres sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. Ini tak lain karena kubu penantang sejauh ini belum mempunyai figur kuat yang mampu menandingi popularitas Jokowi sebagai petahana.
Gatot yang namanya kian moncer belakangan merupakan modal yang lebih dari cukup untuk mendongkrak perolehan suara Jokowi. Sehingga, pertarungan politik dengan adanya gabungan kekuatan Jokowi dan Gatot akan semakin ringan, bahkan nyaris tidak ada lawan. Jika betul Jokowi-Gatot sudah berkoalisi, maka percepatan penggantian Panglima TNI adalah strategi politik untuk meraup simpati. Gatot sudah dipersiapkan sebagai cawapres Jokowi. Ia diberikan waktu yang cukup longgar untuk mendekatkan diri kepada rakyat Indonesia sebelum Pilpres 2019.
Lalu, bagaimana kalau Gatot ingin nyapres sendiri? Ini juga menarik. Dengan modal politik yang dikantonginya sekarang, Gatot hanya selangkah lagi menuju Istana. Yakni, bagaimana meyakinkan partai politik untuk mengusungnya sebagai capres. Sebut saja, Gerindra, Demokrat, dan PKS sebagai pendukung utama. Pertanyaannya, apakah tokoh sentral terutama Prabowo dan SBY akan merestui Gatot? Tentu sangat mungkin.
Apalagi, Prabowo sudah dua kali maju sebagai cawapres dan capres. Loh, apa hubungannya? Tidak ada yang salah memang jika Prabowo ingin kembali bertarung di 2019 untuk ketiga kalinya. Namun, bila merujuk tradisi pencapresan, seorang tokoh hanya dua kali bertarung secara beruntun. Mereka adalah Megawati, Wiranto, dan Prabowo. Rekor tertinggi masih dipegang Jusuf Kalla dengan dua kali menang dan satu kali kalah dalam tiga kali Pemilu.