Subuh yang dingin sejak gerimis setia menemani Jakarta sejak malam. Kecuali bergegas, tiada pilihan yang bisa dikompromikan pagi itu. Harus segera meluncur ke sebuah ruko di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Kata tetangga sebelah, jika tak ingin kehabisan tiket, datanglah sedini mungkin. Bila perlu, pukul 05.00 sudah di sana.
Dibalut jas hujan, saya pun menyusuri jalanan Jakarta dengan semangat menyala-nyala. Ingin menjadi pengantri yang pertama. Berangkat dari Cawang, bermanuver sedikit mencari jalan tikus, sampailah saya di Rawamangun pada pukul 05.30. Usai memarkir sepeda motor, saya malah terkaget-kaget menyaksikan antrian manusia yang sudah mengular. Untung bukan antrian ular yang memanusia. Hehehe.
Namun asa masih ada, ketika Pak Satpam terlihat memasang wajah senyum. Hati pun sedikit lega walau sudah bertengger di antrian terakhir. Sayang seribu sayang, lima orang pengantri di depan saya mendadak kecewa. Itu pertanda kalau tiket antrian sudah ludes. Batas nomor pengantrinya sudah mencapai 200 orang, jumlah yang sengaja dibatasi setiap harinya. Pupus sudah perjuangan pagi itu. Mak tak mau harus mengulanginya keesokan hari. Singkat cerita, saya pun sukses memperoleh satu tiket antrian, bersama 199 "pejuang subuh" lainnya yang kompak menaklukkan tantangan tak ringan itu.
Begitulah sedikit kisah perjuangan saya semasa mengurus kartu BPJS Kesehatan, awal 2015 lalu. Menaklukkan dinginnya udara pagi Jakarta selama dua hari berturut-turut. Bukan apa-apa, saat itu masyarakat Indonesia termasuk Jakarta sedang ramai-ramainya mengurus BPJS Kesehatan. Semua berlomba ingin segera memegang kartu BPJS Kesehatan.
Hal ini sangat masuk akal mengingat layanan BPJS Kesehatan memang sangat membantu bagi individu maupun keluarga, khususnya bagi mereka yang belum mempunyai fasilitas asuransi kesehatan swasta. BPJS Kesehatan boleh dikatakan sebagai dewa penolong bagi mereka yang mendadak sakit sekaligus membutuhkan biaya yang besar pula.
Dengan kata lain, BPJS Kesehatan tanpa disadari telah mengubah cara pandang masyarakat Indonesia tentang pentingnya kesehatan. Dari yang sebelumnya cuek terhadap pentingnya fasilitas kesehatan, perlahan mulai menyadari betapa pentingnya mempersiapkan fasilitas kesehatan bila sewaktu-waktu mengalami gangguan kesehatan.
Seiring munculnya kesadaran kolektif dari masyarakat tentang pentingnya kesehatan itulah yang pada akhirnya menjadikan kesehatan sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat. Disebut gaya hidup lantaran telah menyatu dengan rutinitas sehari-hari. Masyarakat semakin sadar, penyakit bisa datang kapan saja dan di mana saja. Untuk itu, dibutuhkan proteksi keuangan yang suatu saat bisa digunakan.
Kesadaran tersebut, juga tidak terlepas dari iuran BPJS Kesehatan yang sangat terjangkau. Sederhananya, iuran BPJS yang dibayarkan setiap bulannya, akan dinikmati tanpa batas ketika pemegang kartu BPJS harus mendapat perawatan kesehatan di rumah sakit. Hanya dengan menunjukkan kartu BPJS di rumah sakit, maka pasien akan mendapat penanganan medis yang seluruh biayanya ditanggung pemerintah.
Soal kemudahan tersebut, saya sudah membuktikannya di sebuah rumah sakit di Cawang, Jakarta Timur, pertengahan 2015. Saat itu, dalam proses kelahiran anak kedua saya, istri tercinta pun mendapat tindakan operasi caesar, yang sama sekali tidak dipungut biaya. Betul-betul sangat membantu. Berbeda dengan proses kelahiran anak pertama saya pada 2012 lalu, yang seluruhnya harus ditanggung biaya pribadi. Kok bisa? Sebab pemerintah belum meluncurkan layanan BPJS Kesehatan waktu itu.
BPJS Kesehatan di Ujung Jemari
Seandainya teknologi informasi sudah secanggih sekarang, tentu saja saya tidak perlu harus bangun subuh, mengantri nomor, lalu kembali lagi esok harinya hanya untuk mengurus kartu BPJS Kesehatan. Tinggal klik, kartu "sakti" rumah sakit pun jadi.