Lihat ke Halaman Asli

Ishak Pardosi

TERVERIFIKASI

Spesialis nulis biografi, buku, rilis pers, dan media monitoring

Dirgahayu, Bersama Rakyat TNI Kuat

Diperbarui: 5 Oktober 2017   01:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latihan Prajurit TNI (Kompas)

Sebagai pembuka, izinkan saya mengucapkan "Dirgahayu TNI, semoga tetap bersama rakyat."

Wakil Presiden Jusuf Kalla memuji langkah Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang mengundurkan diri sebelum terlibat politik praktis. Itulah pernyataan JK sehari sebelum ulang tahun ke-72 TNI yang diperingati pada hari ini, Kamis, 5 Oktober 2017. Sebuah komentar yang kembali mengungkit masa lalu AHY di tengah panasnya isu 'impor senjata' Polri yang didengungkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, beberapa waktu lalu.

Kita tahu, AHY memang melepaskan seragam militernya ketika sudah resmi diusung koalisi parpol pimpinan Demokrat sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Bagi AHY, pilihan itu diakuinya sangat sulit sebab tidak ada lagi kata kembali ke TNI, menang atau kalah dalam Pilgub DKI. Sekali lepas seragam, maka harus lepas selamanya. Tetapi pilihan tetap dijalankan AHY, meninggalkan karir militer dan terjun dalam dunia politik praktis. Dan, kita sudah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Kenapa seorang prajurit harus keluar dulu dari TNI sebelum terjun ke politik? Tak lain karena TNI merupakan institusi yang sangat dihormati dan disegani. TNI sebagai penjaga pertahanan negara memiliki instrumen pertahanan yang sangat komplit. Jaringan kekuatan TNI menyebar di seluruh pelosok Nusantara, di darat, di laut, dan di udara. Dengan alasan ini, prajurit TNI dikhawatirkan akan "memanfaatkan" jaringan yang dimilikinya demi tujuan politik tertentu, jika belum mengundurkan diri terlebih dahulu.

Pengalaman masa lalu khususnya di Orde Baru, sudah cukup menjadi bukti saat TNI masih bernama ABRI dengan dwifungsinya. Tentara saat itu cenderung menjadi alat penguasa pemerintahan (Soeharto) untuk melanggengkan kekuasaannya. Hal itulah yang menjadi salah satu pembeda antara era Soeharto dengan era reformasi saat ini. Supremasi sipil sudah betul-betul terlihat. Di saat yang sama, TNI juga ikut melakukan pembenahan internal dengan tetap menjunjung Presiden sebagai Panglima Tertinggi.

Namun, konsistensi TNI yang sejak era reformasi tidak lagi terlibat politik praktis, baru-baru ini seolah mengemuka kembali. Alhasil, Panglima TNI dituding ingin mencicipi dunia politik. Meski dibantah Panglima, sejumlah tokoh terlanjur curiga. Puncaknya, Jokowi sampai-sampai menegaskan bahwa Panglima Tertinggi adalah Presiden.

Semoga TNI ke depan akan jauh lebih dari sekarang. Bagaimanapun, ibu kandung TNI adalah rakyat. Itu sebabnya TNI akan kuat apabila bersama rakyat.

Dirgahayu TNI. Merdeka!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline