PRESIDEN Jokowi paling rajin blusukan keliling Nusantara. Ia seolah tidak peduli alasan keamanan terutama bila mengunjungi daerah yang kerap dianggap rawan dikunjungi pejabat negara sekelas presiden. Misalnya, Papua yang hingga kini masih menyisakan aroma disintegrasi oleh hadirnya Organisasi Papua Merdeka (OPM). Jokowi, sejak masih Wali Kota Solo, rupanya sudah hobi meninjau langsung hasil rancangannya. Maka jabatan sebagai orang nomor 1 di negeri ini pun tak membuatnya mengubah hobi itu. Hobi yang unik sekaligus riskan untuk sekelas orang nomor wahid. Tetapi itulah Jokowi, tampil dengan dirinya sendiri tanpa harus memikirkan apa pendapat orang lain.
Tunggu dulu, saya bukan sedang ingin memuji-muji Jokowi. Sebab, beberapa kebiasaan Pak Presiden seringpula saya kritisi. Seperti pembagian hadiah sepeda, yang menurut saya, kurang bermanfaat bagi rakyat kecil. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah pembangunan ekonomi yang riil. Bukan yang mengambang alias hanya sebatas kebahagiaan semu seperti dapat hadiah dari seorang Presiden. Tetapi okelah, mungkin obral sepeda itu merupakan bagian dari komunikasi Jokowi untuk lebih dekat kepada rakyatnya. Tidak apa perut lapar yang penting hati senang, mungkin demikian maksudnya.
Baiklah, mari kembali ke topik. Safari Nusantara yang diawali di Aceh dan diakhiri di Papua oleh Presiden Jokowi dalam lima hari terakhir ini menjadi bukti berikutnya betapa Jokowi ingin membangun Indonesia dari pinggiran. Ia sangat paham tanpa pembangunan di daerah, mustahil rasanya Jakarta akan menjadi sepi. Ya, sepi dari anak muda penuh semangat yang ingin mengubah nasibnya. Tanpa mengubah wajah daerah pinggiran dan terluar, wajah Jakarta akan terus semrawut dengan segudang persoalannya. Tak lain dan tak bukan yang mesti dikejar saat ini adalah pembangunan infrastruktur ke seluruh pelosok negeri. Mampu menyambungkan Sabang sampai Merauke.
Persoalannya, selama ini, di Merauke sendiri belum tersambung sepenuhnya. Transportasi masih menjadi harga mahal bagi masyarakat Papua. Akibatnya, perekonomian pun lesu yang pada akhirnya menyasar pada aspek pendidikan yang tertinggal. Tambah celakanya, sumber daya alam di bumi Cenderawasih selama ini mayoritas malah hinggap dulu ke Jakarta, kemudian dibagikan ke seluruh daerah, syukur-syukur tidak “nyangkut” di kantong para bandit kelas kakap. Rempah-rempahnya, lalu diberikan kembali ke Papua. Tentu itu sangat tidak adil.
Menyaksikan perjalanan Jokowi dalam tiga tahun terakhir memang sangat membosankan. Paling tidak itu yang dirasakan banyak masyarakat. Roda ekonomi terasa lambat, gaji karyawan tak kunjung membaik, hidup sederhana saja sudah jago. Namun, di sinilah seni kepemimpinan Jokowi. Ia sudah pasti menyadari kenyataan tersebut. Tetapi, mungkin bagi dia, lebih baik bersusah-susah dulu baru bersenang-senang kemudian. Sebab, membangun Indonesia dari daerah bukan perkara mudah. Tak hanya butuh modal jumbo, waktu yang dibutuhkan juga relatif lama. Untuk membangun satu jembatan saja, tentu tak cukup waktu satu bulan. Sedangkan dalam program Jokowi, seluruh daerah serentak membangun segala macam infrastruktur seperti pelabuhan, jembatan, jalan, jalan tol, bandara, pembangkit listrik, termasuk perbaikan Pos Lintas Batas Negara.
Orkestra pembangunan yang digawangi Jokowi dipastikan menelan waktu yang sangat lama. Tidak mungkin rasanya segala impian itu akan terwujud dalam lima tahun. Setidaknya butuh 15 tahun untuk merampungkan semua program ambisius namun realistis itu. Jika begitu, seandainya Jokowi terpilih sekali lagi menjadi Presiden, maka pemimpin berikutnya hanya meneruskan sisa lima tahun saja guna mewujudkan Indonesia yang berkeadilan dari segi pembangunan dan ekonomi. Namun, jikalau Presiden Jokowi harus terhenti di satu periode saja, semoga saja penggantinya bersedia melanjutkan atau bahkan menyempurnakan program yang telah dirintis Jokowi dengan susah payah.
Ke depan, mungkin di tahun 2030 nanti, tradisi mudik saat Lebaran maupun Natalan akan berkurang drastis, khususnya eksodus perantau dari Jakarta kembali sejenak ke kampung tercinta. Para anak muda yang tadinya berniat merantau ke Jakarta tidak lagi tergoda, sebab di kampungnya sendiri sudah tersedia banyak lapangan pekerjaan. Jakarta nantinya hanyalah kota tujuan berwisata atau sekadar tempat mengurus surat-surat kenegaraan. Kalau untuk cari makan dan hidup layak, cukup di kampung sendiri saja. Sebaliknya, jika program Jokowi merajut Indonesia dari pinggiran harus terhenti, maka selama itu pulalah tradisi mudik akan berlangsung. Jakarta akan tetap menjadi gula bagi seluruh rakyat Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H