Peristiwa ini akan menjadi hal yang biasa dari sehari ke sehari. Terjadi di depan komplek perumahan yang padat di mana penghuninya setiap pagi harus berjibaku dalam kemacetan lalu lintas yang sangat menuntut tingkat kesabaran yang tinggi. Dan kepatuhan pada rambu lalu lintas salah satu faktor yang mendukung ketertiban berlalu lintas yang kemudian dapat berdampak pada berkurangnya kemacetan.
Logis, 'kan?
Pengendara sepeda motor dan mobil sudah patuh -- respek pada pak polisi yang bertugas mengatur lalu lintas -- dengan tidak melintasi garis-garis putih sebagai penanda area pejalan kaki untuk menyeberang, sekaligus penanda semua kendaraan harus "berdiri" tidak melewati garis tersebut. Semua sabar menunggu giliran sesuai perintah pak polisi karena traffic light sudah tidak difungsikan lagi.
Namun, apa yang terjadi? Tidak bertahan lama dalam kepatuhan rambu-rambu, mendadak pak polisi memberi instruksi untuk maju melewati garis "sakral" tersebut menunggu giliran jalan. Diperlukan tiupan sempritan berulang kali karena pesepeda motor ragu, jangan-jangan kena "jebakan Batman". Setelah semua sepeda motor melanggar, satu per satu mobil mengikuti setelah pengemudinya merasa aman walau melanggar rambu.
Tidak terlalu signifikan sebenarnya jika maksud pak polisi untuk mempercepat laju kendaraan manakala tiba gilirannya untuk jalan, karena jaraknya hanya sekitar lima meter. Namun dampak lanjutannya bisa menimbulkan kesalahpahaman pada para pengemudi. Besok lusa mereka akan melakukan hal yang sama dengan "referensi" yang ditunjukkan pak polisi hari ini, yakni tidak mematuhi rambu-rambu. Memang, polisi adalah oknum paling berkuasa yang bisa menentukan keputusan yang berhubungan dengan situasi jalan raya, tetapi alangkah baiknya jika tetap mematuhi rambu-rambu.
Logis, 'kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H