Lihat ke Halaman Asli

Pardomuan Gultom

Dosen STIH Graha Kirana

Kelola Emosi Anak: Belajar dari Montessori

Diperbarui: 9 Juli 2023   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maria Montessori (1951) (sumber gambar: montessori-hofheim.de)

Dalam buku yang berjudul "Sejarah Pendekatan Montessori" oleh Agustina Prasetyo Magini (2013), menyebutkan bahwa Maria Montessori adalah wanita berkebangsaan Italia, yang lahir pada tahun 1830, di Kota Chiaravalle, Provinsi Ancona, Italia Utara. Ayahnya, Alessandro Montessori, seorang tentara dan ibunya, Renilde Stoppani, keturunan bangsawan dan berpendidikan tinggi.

Sejak kecil, Montessori diwajibkan oleh ibunya untuk merendah dan membuat sesuatu untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Pengalaman tersebut menjadi pembelajaran baginya tentang kepekaan sosial yang ditanamkan oleh ibunya kepada Montessori.

Di saat masih muda, dia mempunyai minat dan bakat yang besar pada matematika. Orang tuanya mengirimnya ke Roma agar memperoleh kelebihan-kelebihan pendidikan di sebuah kota besar. Meski orang tuanya menginginkan dia menjadi guru, namun Montessori justru memutuskan menekuni bidang mekanika. Namun, bidang tersebut bukanlah kesukaannya. Dan setelah perkenalan yang singkat pada bidang biologi, kemudian dia memutuskan menekuni bidang kedokteran yang membawa dia menjadi wanita pertama di Itali yang mendapatkan gelar Doctor of Medicine pada tahun 1896.

Setelah lulus, dia bekerja di klinik psikiatrik Universitas Roma, dimana pekerjaan tersebut berhubungan dengan masalah cacat mental, yang sangat membantunya dalam menuangkan gagasan-gagasan pendidikan pada masa-masa yang akan datang. Montessori sangat yakin bahwa kekurangan (defisiensi) mental lebih merupakan masalah pedagogis daripada gangguan medis. Dan dia merasa bahwa dengan latihan pendidikan khusus, orang-orang cacat ini akan dapat dibantu.

Pada gilirannya, pendidikan dan pemahaman tersebut terbukti memberikan kontribusi sangat besar dalam pengembangan kemampuan anak yang menderita cacat mental. Montessori sangat menekankan eksistensi anak dan ia juga menggagaskan konsep tentang self-construction dalam tumbuh kembang anak.

Pandangan Montessori

Menurut Montessori, suatu fase kehidupan awal seorang anak sangat berpengaruh terhadap fase kehidupan selanjutnya. Artinya, pengalaman-pengalaman yang dialami oleh seorang anak di awal kehidupannya sangat berpengaruh terhadap kedewasaannya kelak. Begitu juga perlakuan yang diterima anak sejak kecil akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya.

Pandangan Montessori tentang anak dapat dipahami melalui konsep perkembangan anak, yaitu: pertama, child's selfconstruction, dimana anak mengkonstruksi sendiri perkembangan jiwanya. Kedua, sensitive periodes, yang merupakan masa-masa sensitif. Ketiga, absorben mind, yaitu konsep tentang jiwa penyerap. Dan keempat, the natural laws governing the child's psychic growth, yaitu hukum-hukum perkembangan anak.

Montessori meyakini bahwa anak secara bawaan telah memiliki suatu pola perkembang psikis. Selain itu, anak juga memiliki motif yang kuat ke arah pembentukan sendiri jiwanya (self construction). Dengan dorongan ini, anak secara spontan berupaya mengembangkan dan membentuk dirinya melalui pemahaman terhadap lingkungan.

Meskipun anak sudah memiliki pola psikis bawaan dan dorongan vital untuk mencapainya, tidak berarti bahwa ia membawa model-model perilakunya sudah jadi. Dengan demikian anak mengembangkan polapola perkembangan dan kekuatannya itu sejak lahir melalui pengalamanpengalaman interaksional pendidikan. Ada dua kondisi yang diperlukan dalam perkembangan anak, yakni: pertama, adanya suatu interaksi yang terpadu antara anak dengan lingkungannya (baik dengan benda maupun orang). Dan kedua, adanya kebebasan bagi anak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline