“Saya bertindak sendirian dan atas perintah Tuhan” dan “saya tidak menyesal”. Demikian kata-kata yang diucapkan Yigal Amir, seorang pemuda ekstrim Yahudi yang membunuh Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin pada tanggal 4 November 1995 kepada polisi. Empat belas tahun sebelumnya (6 Oktober 1981), seorang tentara dan anggota organisasi al-Jihad di Mesir, Letnan Khalid al-Islambuli, yang bertugas membunuh Presiden Anwar Sadat, berteriak “Nama saya adalah Khalid al-Islambuli, saya telah membunuh Fir’awn (Sadat), dan saya tidak takut mati”.
Menurut Charles Selangut dalam bukunya Sacred Fury: Understanding Religious Violence (2003) mengatakan bahwa mereka yang melakukan tindakan ekstrim tersebut mempunyai keyakinan yang sama, yaitu bahwa membunuh pemimpin negara merupakan perintah Tuhan karena dianggap telah melanggar hukum-hukum Tuhan.
Aksi Terorisme di Dalam Negeri
Di Indonesia, istilah terorisme masih dianggap tergolong “baru”. Menurut data Universitas Indonesia, di Indonesia dari kurun waktu 2010 hingga 2017 tercatat terjadi 130 kasus terorisme. Ada 896 pelaku telah ditangkap dan dijatuhi hukuman, 126 di antaranya dihukum mati, 674 sedang dalam hukuman dan 96 pelaku bebas.
Menurut mantan Kapolri, Idham Azis, mengatakan jumlah aksi terorisme di Indonesia pada 2019 berjumlah delapan kejadian. Jumlah ini menurun 52,6 persen bila dibandingkan dengan jumlah aksi terorisme pada 2018 sebanyak 19 aksi terorisme. Pada periode ini, Polri menangkap 275 pelaku tindak pidana terorisme. Dari jumlah itu, sebanyak dua pelaku sudah divonis, 42 orang dalam proses persidangan, 220 dalam proses penyidikan dan tiga orang pelaku meninggal dunia. Pada tahun 2019 yang lalu, aksi teroris yang menjadi sorotan adalah aksi penyerangan terhadap mantan Menko Polhukam, Wiranto, aksi teror di Mapolrestabes Medan (13November 2019), dan bom bunuh diri di Kartasura, Jawa Tengah (3 Juni 2019) (katadata, edisi 28 Desember 2019). Dan pada tahun 2020 telah menangkap sebanyak 228 tersangka baru dan 2 buron teroris, yakni Taufik Bulaga alias Upik Lawanga (perakit bom yang meledak di Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton pada 5 Agustus 2003) dan Zulkarnaen (DPO Bom Bali I selama 18 tahun).
Yang terakhir adalah aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar (28 Maret 2021) dan aksi penyerangan Mabes Polri pada 31 Maret 2021.
Etimologi Terorisme
Menurut Kacung Marijan (2003), kata teror disebutkan dengan istilah system, regime de terreur yang kali pertama muncul pada tahun 1789 dalam The Dictionnaire of The Academic Francaise. Konteks revolusi Prancis, istilah terorisme pada waktu itu memiliki konotasi positif, yakni aksi-aksi yang dilakukan untuk menggulingkan penguasa yang lalim dan aksi-aksi itu berhasil dilakukan.
Terorisme (terorism) berasal dari kata terror. Menurut Oxford Paperback Dictionary, terror berarti extreme fear (rasa takut yang luar biasa), a terrifying person or
thing (seseorang atau sesuatu yang mengerikan). Terorisme diartikan sebagai use of
violence and intimidation, especially for political purposes (penggunaan kekerasan dan intimidasi, utamanya bagi tujuan-tujuan politik). Terorisme memiliki cara yang khas, yaitu penggunaan kekerasan secara sistematis untuk mencapai tujun politik. Metodenya adalah pemboman, pembajakan, pembunuhan, penyanderaan atau singkatnya aksi kekerasan bersenjata.
Menurut Noam Chomsky dalam bukunya yang berjudul Pirates and Emperors: Pelaku Terorisme Internasional yang Sesungguhnya (2017), menyebutkan konsep tentang terorisme masih tidak jelas dan pada umumnya orang saling berbeda tentang definisi terorisme. Istilah terorisme lebih mengarah pada taktik, alat untuk mencapai tujuan tertentu. Sebagai sebuah taktik, terorisme selalu dapat digunakan kapan saja untuk sebuah aksi bagi suatu kelompok. Jika terorisme dipahami sebagai sebuah taktik, maka sangat keliru orang mendeklarasikan “perang terhadap terorisme,” karena orang tidak dapat mengalahkan taktik. Pernyataan perang terhadap terorisme sama halnya dengan menyatakan perang secara terus-menerus.
Korban kekerasan biasanya dipilih secara acak (targets of opportunity) atau dipilih (representative atau symbolic targets) dari warga yang menjadi sasaran, yang kemudian dijadikan sebagai sumber pesan. Ancaman dan proses komunikasi yang berbasis kekerasan antara teroris dan korban digunakan untuk memanipulasi sasaran utama yang sebenarnya. Sasaran terakhir inilah yang menjadi sasaran teror, sasaran tuntutan, atau sasaran perhatian, tergantung pada tingkat intimidasi, pemaksaan, dan propaganda yang diinginkan.