Lihat ke Halaman Asli

Paras Tuti

TERVERIFIKASI

Cakrawala Dunia Indonesia-Jepang

Mochi di Tanah Jepang, Jadah di Tanah Jawa

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13887726182084756767

[caption id="attachment_313392" align="aligncenter" width="393" caption="Kagami Mochi yang terpajang di lobi salah satu hotel di kota Kanazawa. Bentuknya seperti Snowman dan di bagian atasnya ada sebuah jeruk. Dok Pribadi"][/caption] Mochi, salah satu nama makanan Jepang ini, jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris adalah Cake rice. Tapi, terjemahan ini rasanya tidak klop sama sekali, karena yang namanya mochi itu sebetulnya bukan cake. Mochi jelas-jelas tidak berasa manis dan tidak lembut di lidah. Jika kita menggigitnya akan ada semacam tarik menarik antara tangan dan gigi, tidak lembut seperti layaknya tekstur cake.

Mochi terbuat dari nasi yang ditumbuk. Mochi yang baru saja dibikin tidak ada rasanya, jika diberi tambahan seperti misalnya kacang merah yang diberi gula, barulah berasa manis. Kegiatan untuk menyambut tahun baru yang berhubungan dengan mochi ada dalam tulisan yang berjudul Satu Lawan Satu Bentuk Kerjasama Orang Jepang, .

Di daerah Jawa, semacam mochi ini disebut jadah atau tetel. Cara membuatnya dicampur dengan kelapa, jadi rasanya legit dan lebih gurih. Di daerah lain sepertinya juga ada mirip mochi, yang terbuat dari tepung ketan dan dalamnya ada bahan tambahan kacang manis.

Mochi di Jepang, dipakai sebagai syarat untuk menyambut segala sesuatu yang baru. Untuk menyambut tahun baru orang-orang memajang 鏡餅Kagami Mochi di rumah, atau dipajang dimana saja yang diyakini akan diberkahi oleh sang Penguasa Alam. Bentuknya seperti snowman yang diatasnya diletakkan sebutir jeruk, sebagai tanda kemakmuran. 鏡開きKagami biraki, maksudnya, mochi ini akan dibelah dan dimakan kira-kira 2 minggu setelah tahun baru.

Warna kuning dari jeruk yang ada di bagian atas kagami mochi menandakan bahwa kebahagiaan itu harus dicari dan dipertahankan dengan sekuat tenaga. Membuat mochi tidaklah mudah, begitu jadi pun juga masih penuh perjuangan untuk mengunyahnya. Dan juga untuk menelannya, diperlukan kehati-hatian, terutama bagi yang sudah memakai gigi palsu.

Ada cerita di balik tahun baru yang selalu ada ditiap tahunnya. Konon sejak dulu banyak manula yang meninggal hanya karena mochi tersebut tertelan begitu saja dan menyumbat pernapasan, karena tidak mudah dikunyah. Tetapi karena mochi itu identik dengan tahun yang baru, jika mereka tidak makan mochi, itu sama dengan tidak merayakan tahun baru. Dan itu sama dengan tidak berharap sesuatu yang baik. Maka walaupun susah, mereka para manula ini masih tetap ingin menikmatinya dalam suasana yang istimewa. Dan selalu ada celetukan dari mereka “Tahun depan apakah aku masih juga bisa menikmati mochi ini ya”

Dulu ada kebiasaan menghantar mochi pada tetangga yang baru pindah, sebagai doa agar orang yang baru pindah itu bisa menumbuhkan harapan baru di lingkungan yang baru. Tetapi kebiasaan ini sudah mulai memudar seiiring jaman, di kota-kota kecil pedesaan masih bisa ditemui.

Bagaimana dengan mochi pada anak yang baru belajar jalan? Ternyata ada juga lho ceritanya mirip dengan tedhak siten (upacara turun tanah) di tanah Jawa. Kemarin teman kompasiner menuliskan tentang upacara ritual ini, silakan baca Tedhak Siten, Salah satu Adat Jawa Yang Semakin Memudar.

Kalau di Tanah Jawa disebut Tedhak siten, memiliki makna menginjak tanah atau bumi, oleh karenanya ada sesuatu yang diinjak, yakni ketan atau jadah/ tetel dengan 7 warna. Tujuh ini menandakan lapisan langit diibaratkan ada 7 dan juga warna pelangi juga ada 7.

Jadi 7 itu memiliki pesan agar sebagai manusia tetap tidak tinggi hati mengingat di atas langit masih ada langit. Atau dalam pahitnya hidup masih ada pelangi ibarat harapan indah. Oalah , othak athik mathuk, karena pada tulisan teman kompasianer menjelaskan bahwa 7 kalau dilafalkan menjadi “pitu” yang artinya pitulungan dari Yang Kuasa, diharapkan si anak yang baru berjalan, tetap “berjalan pada jalan yang lurus dengan pertolongan Yang Kuasa”

Bagaimana di Tanah Jepang? Di Jepang upacara Turun Tanah ini di sebut 一升餅 isshou mochi atau餅背負うmochi se ou, yakni "upacara menggendong mochi di punggung". Sesuai dengan nama upacaranya, si anak yang baru belajar jalan ini menggendong mochi. Berat memang, karena mochi yang diameternya 15 cm dan bertuliskan iwai atau 寿 kotobuki (arti: harapan untuk berumur panjang) ini kadang cukup berat bagi anak yang masih belajar jalan. Harapannya, dengan menggendong beban yang berat, sejak kecil sudah diperkenalkan sesuatu yang berat. Walaupun jatuh harus terus bangkit melawan kerasnya kehidupan.

Ada tahapan prosesi yang sama antara Tanah Jawa dan tanah Jepang ini, yakni si anak ini disuruh memilih untuk diramalkan kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaannya di masa depan. Macam-macam juga benda yang disediakan sesuai dengan jaman yang berlaku. Pada awalnya dulu hanya ada 3, yakni sempoa = mahir berhitung, gunting = cepat memutuskan, dan sumpit = trampil menggunakan alat.

Saya kurang tahu, apakah ada peribahasa yang menggunakan tetel atau jadah dalam Bahasa Jawa atau Bahasa Indonesia. Kalau dalam Bahasa Jepang ada beberapa peribahasa. Misalnya 絵にかいた餅 e ni kaita mochi, “mochi yang tergambar di lukisan”, maksudnya seindah apa pun gambar mochi di lukisan tetap tak miliki nilai karena tidak bisa dimakan. Peribahasa yang lainnya, 餅は餅屋 mochi ha mochiya , “ mochi harus dibeli di toko mochi”, maksudnya, jika kita akan berguru atau mencari sesuatu yang penting, ya harus ke tempat ahlinya.

Ada satu filosofi yang penting berkaitan dengan mochi ini bagi orang Jepang. Karena sifat mochi ini yang bisa dicuil dan bisa lengket untuk ditempelkan di sesuatu tempat, mochi ini diharapkan bisa "menambal" hal-hal yang kurang pada kehidupan seorang anak manusia sepanjang hidupnya. Dua peribahasa tersebut di atas, sepertinya sudah bisa mewakili kalau mochi sangat penting artinya dalam kehidupan orang Jepang, terbukti dangan adanya peribahasa yang memakai kosa kata mochi ini sejak jaman dulu. Yang saya tahu sampai sekarang jika ada acara temantenan di desa-desa, selalu jadah atau tetel ini menjadi salah satu menu sajiannya. Dengan ini saya merasa yakin, Jawa dan Jepang ini masih ada berteman cukup akrab, dan ada unsur keterikatannya pada beberapa bagian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline