Lihat ke Halaman Asli

Taufik Yoga Pratama

Sharing and Connecting

Pilih Permen Atau Disumbangkan?

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat siang, Kompasianers.

Kali ini saya tergelitik untuk mengulas tingkah laku unik nan menarik dari perusahaan retail di Indonesia (dan mungkin juga toko/warung di sekitar kita).

Tersebutlah Indomart dan Alfamaret, dua retailer ini bisa dibilang merajai dunia pe-retail-an tanah air. Dari pusat kota metropolitan, seperti Jakarta, hingga pelosok kampung di kota kecil, seperti Banjarnegara (tempat saya berasal..hee), telah banyak tumbuh dan bermekaran cabang-cabang kedua brand tersebut. Secara tampilan, sebuah wilayah jika sudah ada Indomart/Alfamaretnya bisa dibilang “ngotani”, ndak “ndeso”. Tapi, jika dilihat dari sisi ekonomi kerakyatan, masih harus dikaji ulang apakah mereka ini sejatinya bisa menjadi tolak ukur kemakmuran masyarakat sekitarnya atau tidak. Apalagi jika dikaitkan dengan daya saing toko-toko kecil di wilayah tersebut, adakah kedua retailer tsb mempengaruhi populasi dan sistem ekonomi kerakyatan di daerah itu? Layak dikaji lebih lanjut.

Namun, dari ngelantur saya di atas, apa yang ingin saya bahas adalah tingkah laku (kebijakan) mereka yag lucu dan unyu-unyu...

Pernah booming teriakan masyarakat karena kembalian permen. Iya, baik Indomart dan Alfamaret sempat dengan sengaja memberikan kelebihan uang sisa belanja dengan permen, iya permen. Awalnya dianggap biasa saja, namun semakin lama semakin meresahkan, karena ternyata terjadi di hampir semua cabang mereka (ini namanya sudah TSM). Memang secara nilai, permen dan uang kembaliannya sama, tapi secara nila transaksi, permen tsb tidak bisa dijadikan alat tukar kan kalo mau beli barang lagi. Nah beranjak dari banyaknya protes masyarakat, berangsur kebijakan nyeleneh yang entah siapa yang memulainya (oknum atau memang peraturan perusahaan?) mulai hilang dari peredaran. 200 dikembalikan 200, bukan dengan permen.

Nah, setelah kejadian permen ini. Sekarang yang terjadi adalah kapitalisme sumbangan (istilah saya saja ini sih). “Rp 100,- nya boleh disumbangkan saja, Pak?” tanya mbak kasir. Sontak hati nurani saya tanpa bertanya, meng-iya-kan. Pertama kali. Kali berikutnya, terjadi seperti itu dan berulang ulang. Hati nurani saya masih tetap meng-iya-kan tapi kali ini otak saya mulai ikut campur. Pertanyaan pun muncul, benarkah rupiah saya yang tidak seberapa itu disumbangkan? Ke mana? Apa pertanggung jawaban kepada kami yg dimintai sumbangan? Adakah info mengenai penyaluran sumbangan ini? Atau ini hanya modus pengganti “permen” saja?

Yang jadi concern saya adalah jika ini dilakukan secara TSM di semua cabang di Indonesia, sudah berapa nominal yang didapat? Saya rasa pasti besar. Masih ingat kan koin untuk Prita? Milyaran jumlahnya. Atau contoh lainnya sumbangan dana kampanye Pak Jokowi, itu puluhan Milyar lho jumlahnya (memang bukan koin juga sih yang di-‘minta’)..tapi adakah pertangung jawaban nyata? Atau memang sudah di Ikhlaskan saja, yg penting kita merasa beramal? Dan berharap masuk surga?

Kawasan Sudirman, 03 Desember 2014

-TYP-

@yoga_paranoia




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline