Lihat ke Halaman Asli

Dosa Revolusi, Dosa Pemuda?

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Revolusi sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat biasanya dianggap sebagai suatu hal yang dibangga-banggakan dan diagung-agungkan. Banyak tokoh atau sosok lahir karena kemampuannya dalam menciptakan sebuah revolusi. Sebut saja misalnya Che Guevara, Mahatma Gandhi, dsb. Nama mereka langsung melejit karena revolusi yang mereka lakukan. Revolusi ini sendiri ada berbagai macam bentuknya. Mulai dari revolusi ekonomi seperti yang terjadi di Rusia misalnya, revolusi industri, politik, dan tidak jarang diantaranya revolusi fisik dengan jalan peperangan. Namun apapun yang terjadi revolusi adalah revolusi. Revolusi adalah sebuah proses perubahan yang cepat dari suatu keadaan ke keadaan yang lainnya. Di Indonesia sendiri tercatat setidaknya telahmengalami tiga kali revolusi. Revolusi pertama dalah revolusi kemerdekaan 1945. Revolusi-revolusi berikutnya terjadi bersamaan dengan jatuhnya suatu rezim. Sebut saja kejatuhan Soekarno dan Reformasi 1998 yang melengserkan Soeharto. Dan dibalik ketiga revolusi tersebut adalah generasi pemuda, dalam konteks kekinian adalah mahasiswa. Ketiga revolusi ini selalu digembor-gemborkan sebagai suatu prestasi yang luar biasa yang telah dilakukan oleh para pemuda. Namun secara tidak sadar, juga turut menciptakan suatu kekacauan sosial. Sebagaimana mie instan dan segala makanan instan lainnya yang idak baik untuk kesehatan, perubahan yang terjadi secara instan (baca: revolusi) tentunya juga tidak baik bagi kesehatan. Revolusi bukan hanya sekedar menghancurkan suatu keadaan yang lama, tetapi juga tentang membangun suatu keadaan yang baru.

Dalam proses itu norma-norma serta peraturan-peraturan lama yang dianggap feodal atau kolonial dijebol dengan maksud untuk diganti dengan norma-norma dan peraturan yang baru. Namun biasanya fungsi semula dari anjuran-anjuran supaya meninggalkan norma-norma lama itu menjadi kabur; penjebolan norma-norma itu sendiri menjadi yang utama, dan norma-norma serta peraturan-peraturan baru tak dibina dan disusun. (Koentjaraningrat, 1974)

Negara ini telah mengalami tiga kali revolusi, namun sudahkah kita belajar dari revolusi-revolusi sebelumnya? Revolusi yang pertama menjebol norma-norma feodalisme. Namun yang terjadi adalah adanya sentimen anti bangsa Eropa terutama negara dunia pertama. Dimana kemudian Soekarno menciptakan NEFO sebagai suatu cita-cita untuk memunculkan negara dunia ketiga melawan dominasi dunia pertama dan kedua. Meskipun pada prakteknya yang terjadi justru kita menjadi bagian dari negara dunia kedua. Revolusi ini mengalami hambatan yang berarti karena tidak adanya pemahaman akan pentingnya reformasi itu sendiri. Kita hanya menuntut merdeka tanpa memikirkan secara masak-masak mau seperti apa setelah merdeka. Namun meskipun terseok-seok, revolusi ini berhasil dalam beberapa bidang namun masih gagal menghancurkan beberapa bagian. Revolusi kedua terjadi karena ketidakpuasan terhadap pemerintaahan yang cenderung pada penunjukkan jati diri dan gagal dalam mengatasi perut. Masyarakat menuntut adanya perubahan akan pentingnya urusan manusiawi dibanding hanya sekedar pembangunan monumen-monumen. Puncaknya pada Supersemar terjadi peralihan kekuasaan dimana juga terjadinya revolusi ideologi. Indonesia yang sebelumnya cenderung ke arah kiri sosialis dibawa menuju ke arah kanan liberalis kapitalis. Pada revolusi ini norma lama dijebol (tidak sepenuhnya) tanpa mempersiapkan norma apa yang akan diusung selanjutnya sehingga justru terjadi sebuah keadaan membingungkan yang pada akhirnya kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh Soeharto. Tahun 1998 terjadilah sebuah revolusi yang lain yang kita sebut sebagai reformasi. Kita berusaha menggulingkan rezim orde baru, lalu apa? Kita tidak pernah melangkah ke sebuah tahapan menciptakan rezim yang baru. Kita sibuk membongkar sana-sini tanpa tersadar bahwa telah banyak waktu yang kita gunakan untuk membongkar dan kini kita kebingungan mencari sebuah bangunan. Mungkin dosa terbesar pemuda ada pada revolusi ini. Golongan mahasiswa sibuk menjebol norma-norma lama tanpa mempersiapkan norma-norma yang baru. Pada akibatnya adalah munculnya banyak kekacauan sosial-politik yang terjadi hingga saat ini. Dua belas tahun setelah revolusi dan norma baru belum terbentuk. Kita masih sibuk memperdebatkan norma yang akan kita gunakan padahal masyarakat sudah tidak sabar lagi berada dalam kepastian. Maka kita sebagai generasi muda mahasiswa yang turut menanggung dosa warisan tersebut seharusnya berfokus dalam bagaimana menciptakan sebuah norma yang baru. Namun pada prakteknya yang terjadi seringkali kita justru disibukkan dengan menciptakan revolusi baru, yang berarti juga sebuah kekacauan baru. Ini semua bukan tentang siapa yang lebih hebat, siapa yang dapat menciptakan sebuah revolusi. Adalah sebuah omong kosong ketika kita membanggakan revolusi yang kita lakukan tanpa menyadari kehancuran yang telah kita ciptakan. Kita yang menghancurkan, maka kita yang membangun. Itu adalah sebuah tanggung jawab sosial yang harus kita lakukan. Sekali lagi, revolusi bukanlah tentang apa yang telah kita hancurkan, tetapi tentang apa yang akan kita bangun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline