Belakangan ini, saya mulai menyadari betapa besar pengaruh media sosial dalam kehidupan saya dan teman-teman di sekitar saya. Banyak dari kami yang semakin merasa terjebak dalam dunia maya, di mana kehidupan kita, terutama citra diri kita terlihat begitu berubah-ubah. Di media sosial, kita selalu berusaha untuk menunjukkan sisi terbaik kita, mulai dari foto-foto yang terlihat sempurna, status yang menarik perhatian, dan kegiatan yang terlihat menyenankan. Di media sosial, hubungan yang kita bangun cenderung bersifat sementara dan sering kali hanya berdasarkan pada pencapaian sosial seperti jumlah "likes," komentar, atau jumlah pengikut. Bahkan identitas diri kita pun terasa lebih cair dan bisa berubah tergantung tren yang sedang berkembang atau apa yang dianggap populer di dunia maya. Ini menciptakan perasaan tidak pasti, kita selalu merasa perlu untuk menyesuaikan diri, untuk terus mendapatkan pengakuan, tanpa tahu apakah itu benar-benar mencerminkan diri kita yang sesungguhnya. Bahkan, meskipun banyak "likes" atau komentar positif, nyatanya hanya ada perasaan kekosongan setelahnya. Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah semua interaksi ini benar-benar nyata atau hanya sekadar pencitraan semata.
Fenomena seperti ini mungkin akan sesuai dengan teori modernitas cair (liquid modernity). Teori ini diperkenalkan oleh Zygmunt Bauman, seorang sosiolog asal Polandia, dalam bukunya yang berjudul Liquid Modernity (2000). Bauman berpendapat bahwa dunia kita kini semakin tidak stabil dan berubah-ubah begitu cepat, yang menyebabkan banyak orang akan merasa kehilangan pegangan atau rasa aman dalam kehidupan mereka. Berbeda dengan masa lalu, ketika kehidupan dan hubungan sosial lebih stabil, sekarang kita hidup dalam kondisi yang tidak menentu, di mana segala sesuatu bisa berubah dalam sekejap. Misalnya, media sosial yang memberikan kebebasan untuk membentuk identitas kita, namun identitas itu sangat dipengaruhi oleh interaksi dan umpan balik dari orang lain, yang sering kali bersifat sementara dan tidak mendalam. Hal ini menjadi beban tersendiri, karena kita selalu merasa harus mengubah diri sebaik mungkin yang akan jauh berbeda dengan diri kita sebenarnya hanya karena kita ingin tetap diterima.
Dalam teori modernitas cair, Bauman menjelaskan bahwa ketidakstabilan ini tidak hanya memengaruhi hubungan sosial kita, tetapi juga cara kita bekerja dan berinteraksi dengan dunia. Pekerjaan yang tidak tetap, hubungan yang bersifat sementara, dan identitas yang terus berubah adalah bagian dari dunia yang tidak pasti ini. Media sosial mempercepat proses ini, karena orang-orang lebih cenderung membangun citra diri yang bisa diterima oleh orang lain daripada menjadi diri mereka yang sebenarnya. Hal ini menciptakan tekanan untuk selalu tampil sempurna, padahal realitas di balik layar sering kali jauh berbeda.
Saya mencoba melihat bahwa fenomena ini mungkin akan sesuai dengan apa yang Bauman gambarkan dalam modernitas cair. Dimana media sosial bukan hanya mengubah cara kita berinteraksi, seperti apa status hubungan sosial kita, dan apa identitas kita. Tetapi, media sosial juga membentuk kembali cara kita memandang diri sendiri dan orang lain. Seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi, dunia semakin "cair" dan kita sering kali merasa harus mengikuti arus tersebut, meskipun itu berarti kehilangan keseimbangan dalam hidup kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H