Lihat ke Halaman Asli

Antara Sinak dan Paniai Berdarah

Diperbarui: 7 Oktober 2016   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Penembak Polisi di Sinak Siap Bertanggungjawab, Bagaimana dengan Paniai?

Sehancur-hancurnya moral seseorang, sangatlah mulia ketika mengakui kesalahan. 

Beberapa hari terakhir ini Papua kembali jadi heboh, karena penembakan yang terjadi di Sinak, Puncak Jaya, Papua. Penembakan di Sinak telah menelan korban 3 orang personel dari Kepolisian Republik Indonesia yang sedang bertugas di sana. Pelaku penembakan di Sinak telah mengakui dan disiap bertanggung jawab melalui situs berita papua tabloidjubi.com

Leka Telenggen, adalah komandan eksekutor 3 polisi telah mengatakan bahwa, “Saya siap bertanggung jawab dalam peristiwa ini. Saya dan anggota sedang was-was di markas kami untuk mengatispasi serangan balik,” kata Lekhaka, saat dihubungi Jubi, Senin (28/12/2015).

Penembakan di Sinak kemarin adalah hanya salah satu dari rangkaian kekerasan yang terjadi sebelumnya, yang terus menelan korban baik sipil maupun militer. Salah satu diantaranya adalah Penembakan 4 orang pelajar SMA di Paniai, Papua pada 8 Desember 2014 lalu, namun hingga kini masih belum ada yang mengaku untuk bertanggung jawab.

Kasus #PaniaiBerdarah ini telah mendapatkan banyak dukungan publik. Salah satu diantaranya adalah Petisi di change.org dengan dukungan tanda tangan dari 14.131 orang. Namun Polisi maupun TNI masih membisu tanpa mengakui kesalahan, bahkan yang paling menyakitkan bagi korban di Paniai adalah tuduhan dari Jakarta yang mengakatakan bahwa kasus Paniai dibekingi separatis

Dalam kasus Paniai ini, separatis siapa? WTF, Jika dibaca kronologiselengkapnya kejadian tersebut terjadi di tengah lapangan yang diapit oleh markas Polisi dan TNI. 

Keadilan yang diharapkan oleh orang seperti saya yang bagian dari rakyat Papua adalah mengakui kesalahan dari pemerintah Indonesia. Mulai dari dosa sejarah Politik, hingga Operasi Militer yang terlah dilaksanakan sebanyak 44 kali dari 1961 hingga 1998.

Kekerasan di Papua akan terus terjadi, jika pemerintah masih menilai bahwa kekerasan adalah solusi untuk mendamaikan Papua. Berbagai aturan untuk Papua terus dilahirkan sepihak jakarta tanpa bertanya terlebih dahulu kepada rakyat Papua. Menciptakan perdamaian di Papua adalah kemauan politik Jakarta, mengikuti cara di TIMOR LESTE atau ACEH. Saya mengutip kata Gusdur, Perdamaian Tanpa Keadilan adalah Ilusi.

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline