Lihat ke Halaman Asli

Menerobos Batas Cita Rasa

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah  sesungguhnya definisi dari batas  itu, sehingga banyak pihak yang ingin menyeberanginya?  Apakah  ia selalu  terlihat?  Seperti apakahsebenarnya  wujud  sebuah  batas?  Dalam  berlalu lintas,  batas  jalan pastilah  terlihat  dengan  jelas.  Dalam  sebuah  peta,  batas  wilayah juga tertera dengan  garis  yang  tegas.  Sebuah  negara  akan  meminta  passport untuk orang  yang  hendak  memasukinya.  Bagaimana  dengan  batas  dalam  interaksi  dengan pihak  yang  lain?  Antara  ada  dan  tiada,  batas  mampu  menelusup  dalam  komunikasi antar  manusia,  antar  bangsa, antar suku. Hal inilah yang dialami juga dalam seni pertunjukan Tiongkok di Semarang.

Pementasan seni pertunjukanTiongkok di Semarang sejak Era Reformasi memang selalu menyita perhatian dari khalayak umum, baik bagi warga Tionghoa maupun masyarakat Indonesia pada umumnya. Hal itu dikarenkan adanya kerinduan terhadap budaya leluhur Tiongkok yang sudah lama tertidur akibat INPRES no. 14 tahun 1967. Pemerintahan alm. Gus Dur yang mencabut INPRES tersebut lambat laun mengakibatkan masyarakat Tionghoaberlomba-lomba untuk mengeksiskan kesenian tradisionalnya. Pemerintah Kota Semarang yang melihat euforia seni Tiongkok kembali digelar dimuka umum, menyambut baik fenomena tersebut; bahkan mereka telah mengagendakan beberapa acara nasional dan  memberikan ruang ekspresi bagi mereka.

Bentuk kepedulian pemerintah terhadap etnis Tionghoa tercermin dalam suasana kondusif saat perayaan Imlex yang selalu digelar secara besar-besaran di dekat kawasan Kota Lama. Acara tersebut sengaja dikemas untuk mendatangkan wisatawan dari luar kota yang dapat dijadikan sebagai sumber devisa daerah. Euforia masyarakat Tionghoa dan penduduk pribumi yang sempat menyita perhatian khalayak umum sejak pertama kali kemunculannya (tahun 2005) adalah perayaan 600 tahun Pelayaran Muhibah Laksamana Zheng He ke Semarang. Atmosfer keindahan Kota Semarang yang seketika itu berubah menjadi negara Tiongkok, tergambar dari pesta lampion, kembang api, dan hingar bingar musik Tiongkok.

Seni secara sederhana merupakan bentuk keindahan yang diciptakan oleh manusia; oleh karena itu seni adalah suatu produk keindahan atau suatu usaha manusia untuk  menciptakan segala hal yang indah dan dapat mendatangkan keindahan dari dalam seni tersebut. Fenomena itulah yang tergambar saat Orkes Yang Khim pentas di dalam klenteng Tay Kak Sie Semarang. Pertunjukan musik ini dimainkan oleh masyarakat Tionghoa yang notabene sudah berusia senja; dan mayoritas dari penonton yang hadir saat itu selalu mengatakan “ciamik”.

Mengamati ataupun membicarakan kesenian selalu tidak dapat dipisahkan dengan konsep estetik yang terpancar dari kesenian tersebut. Aspek keindahan yang selalu dikaitkan dengan aspek indrawi manusia, dalam pemaparannya selalu mencakup nilai-nilai yang tercermin dalam sikap kejujuran, ketulusan, dan kebenaran. Logika yang berhasil dirumuskan Ruth Lorand terhadap estetika seni mengatakan bahwa:

“....mencermati sebuah benda “secara estetik” berarti menilainya tanpa pamrih atau menerapkan konsep tertentu. Jika sebuah benda didekati secara estetik, tanpa menunjukkan pamrih dan tanpa mengedepankan konsep-konsep yang ada, kita dapat memberikan kenikmatan yang esensi terhadap karya tersebut.”

Faktor lain yang dapat dijadikan tolak ukur dalam mendeskripsikan aspek estetis menurut Lorand adalah: jelek (ugly), tanpa makna (meaningless), kitcsh, membosankan (boring), tidak penting (insignificant), dan tidak berkaitan (irrelevant). Enam faktor tersebut adalah hasil perenungan Lorand terhadap karya yang berbentuk benda atau artefak seperti seni rupa; akan tetapi keenam faktor tersebut juga dapat diterapkan untuk menilai zat yang berbentuk audiktif seperti musik. Musik yang identik dengan zat audiktif yang dapat ditangkap oleh indera manusia, seperti: (1) melodi, (2) pitch, (3) ritme, (4) tempo, (5) dinamika, (6) harmoni, dan (7) tone colour pada dasarnya adalah ungkapan ekspresi dalam diri manusia yang tertuang lewat alunan nada.

Pertunjukan musik dapat dikategorikan jelek (ugly) ketika dalam pementasan tersebut tidak mengikuti kaidah ataupun aturan baku seperti yang terdapat dalam pementasan musik kontemporer. Tatanan dalam bermain musik yang sudah merujuk kepada pakem, baik yang dari barat maupun timur, akan terasa aneh bahkan tidak memberikan kenikmatan dan kepuasan jiwa bagi penonton yang mengikutinya apabila komposer menghadirkan komposisi musik yang melawan arus. Arus yang dimaksudkan di sini adalah lawan dari tatanan keteraturan (pakem) yang dapat dikategorikan sebagai deformity. Benturan terhadap tatanan suatu obyek dapat terjadi manakala setiap bagian memiliki aturan dan pola sendiri, tetapi antara aturan yang satu dengan aturan yang lain tidak saling mendukung, bahkan terkesan retak. Keadaan seperti inilah yang dapat dikategorikan sebagai pertunjukan jelek (ugly).

Pertunjukan dapat dikategorikan tak berarti (meaningless) ketika pertunjukan tersebut dipentaskan dihadapan penonton yang sama sekali tidak mengerti tentang pementasan yang sedang berlangsung. Contoh adalah pertunjukan Orkes Yang Khim ataupun orkes musik barat yang dipentaskan di Gunung Kidul. Masyarakat Gunung Kidul yang notabene sudah akrab dengan musik campursari dan nada-nada pentatonis seperti gamelan, akan merasa aneh bahkan tidak akan mengindahkan pertunjukan musik yang berada dalam lingkup luar budaya mereka. Dalam hal ini keadaan sosial dan habitus sangat menentukan bagaimana seseorang dapat memberikan penilaian estetis terhadap karya seni tersebut.

Pertunjukan dapat dikategorikan kitsch apabila pertunjukan tersebut sudah terlalu over dalam melakukan eksplorasi musik. Definisi kitsch dapat diterjemahkan sebagai barang indah-alamiah ataupun buatan yang telah teruji dan disalahgunakan dengan jalan mengeksploitasi menggunakan effect demi mendapatkan imbalan tertentu. Eksplorasi musik yang terlalu berlebihan, kadang dapat menimbulkan kesan naif bagi apresiator musik yang menikmatinya. Fenomena ini juga terjadi dalam Orkes Yang Khim. Pertunjukan tradisi Tiongkok yang sudah seharusnya menggunakan instrumen musik timur, sengaja digubah oleh para pelaku seni dengan menambahkan instrumen musik barat seperti set drum keyboard, dan bass guitar. Alasan komposer melakukan penambahan instrumen tersebut lebih didasarkan atas bentuk lagu yang tidak dapat menjangkau nada-nada diluar modus Tiongkok untuk kemudian diakomodir dengan instrumen musik barat. Di negeri asalnya, pertunjukan jenis ini memang menggunakan penambahan instrumen musik barat, dan sering membawakan lagu-lagu populer dari barat, akan tetapi semangat dan jiwa yang dihasilkan dari instrumen Tiongkok tetap dimunculkan sebagai identitas mereka. Hal itu juga telah ditepuh oleh pelaku seni Tiongkok di Semarang. Usaha tersebut wajib ditempuh demi mendapatkan apresiasi dari golongan muda yang notabene sudah akrab dengan instrumen musik barat dan musik-musik ber-genre populer seperti band.

Pertunjukan musik dapat dikategorikan membosankan atau (boring) ketika penyaji musik tidak pernah menghadirkan kejutan yang dapat menimbulkan decak kagum dari penonton. Pertunjukan akan terkesan sangat membosankan lagi apabila dalam penyajian tersebut selalu didominasi oleh pola-pola yang sudah bisa ditebak ataupun diramalkan oleh penonton. Kasus yang menimpa Orkes Yang Khim ketika mereka pentas di dalam klenteng adalah contoh dari fenomena tersebut. Bagi masyarakat Tionghoa yang sering melakukan ritual bertepatan dengan pementasan Yang Khim mungkin akan merasa bosan ketika para pelaku seni selalu memainkan lagu-lagu yang sudah sering mereka pentaskan; akan tetapi mereka memiliki siasat khusus untuk mengatasi hal itu. Formula yang ditempuh untuk mensiasati kejadian itu dengan cara mempersilakan pengunjung untuk berpartisipasi dan menyumbangkan lagu, dan sejauh ini usaha tersebut berhasil dengan baik.

Pertunjukan dapat dikategorikan tidak penting (insignificant), atau bahkan lebih ironis lagi tidak berkaitan (irrelevent) ketika pertunjukan tersebut tidak mengindahkan kaidah yang berlaku atau bahkan tidak sejalur dengan norma-norma yang ada. Kasus dalam ranah ini adalah pementasan Orkes Yang Khim ketika klenteng merayakan kenaikan Dewi Kwan Im Po Sat ke nirwana. Pertunjukan Yang Khim yang hanya memiliki fungsi sebagai sarana hiburan, ketika pentas di dalam klenteng tentu saja mereka harus memikirkan hal yang bersifat fundamental seperti memilih tema lagu yang menghidari syair keduniawian.

Manusia sebagai individu yang unik sekaligus sempurna, pada kenyataannya tidak dapat dipisahkan dengan fenomena sosial yang berada di luar dari kehidupan dan habitus mereka. Ekspresi diri yang secara spontan/bahkan telah direncanakan sebelumnya dalam bermusik, secara tidak langsung belum mampu mengatasi universality dalam bermusik jika musik tersebut diterapkan untuk menilai estetika dari musik timur. Fenomena itu yang kebanyakan dialami oleh kurator musik di dunia. Sebagai contoh adalah seseorang yang sudah terbiasa memainkan atau mendengarkan nada-nada makro diatonis seperti dalam musik barat, akan terasa sulit bahkan aneh ketika mendengarkan musik timur yang notabene memainkan nada-nada mikro diatonis yang lebih dikenal dengan istilah cengkok.

Letak cita rasa indah menurut masyarakat Tionghoa di Semarang yang tercermin dalam kata “ciamik”, pada dasarnya adalah ekspresi dari pribadi mereka karena kerinduan terhadap  budaya Tiongkok yang sudah lama tertidur karena INPRES NO.14 tahun 1967. Kata pungtif dari “ciamik”yang tertuang secara spontan ketika group tersebut pentas di klenteng, didukung juga oleh penampilan para pemain yang rata-rata usianya berumur 40 tahun ke atas; selain itu aransemen musik yang mereka mainkan dengan cara menambahkan instrumen musik barat dan tidak mereduksi semangat ataupun ciri khas musik Tiongkok telah berhasil merebut hati para penonton yang hadir saat itu. Komposer yang sengaja memasukan lagu-lagu Jawa ataupun lagu Tiongkok yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti lagu “Tian Mi Mi” menjadi lagu keroncong “Dayung Sampan” juga menjadi alasan pokok pertunjukan mereka mendapatkan sambutan yang meriah ketika pentas. Apresiasi dari penonton tersebut juga datang dari kelompok di luar etnis Tionghoa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline