Lihat ke Halaman Asli

Hakekat Manusia itu Memamah Biak

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13542734091408123306

Akhir bulan lalu, adik saya kembali ke Indonesia. Di saat yang bersamaan, posisiku juga di Jakarta. Setelah kami bertemu di bandara, kemudian kami memutuskan untuk mengunjungi rumah mahaguru yang lokasinya tak jauh dari sana.

Ya…hanya di rumah mahaguru tersebut saya merasa nyaman. Selain bisa makan enak prasmanan ambil sendiri tanpa malu, kadang saya bisa mengobrol dan merokok bersama Budayawan atau pejabat Negara yang kebetulan juga sowan. Bahkan kalo hokkie sedang menghampiri, di tempat itu saya bisa foto dengan artis Dangdhut yang bernaung dalam Departemen Goyang Pinggul. Lumayan_lah untuk PP di Facebook. :-)

Maksud kedatangan saya ke rumah Mahaguru saat itu tak lain adalah untuk “makan”. Maklum!!! Anak kost seperti saya ini baru bisa makan teratur tiap akhir bulan. Teratur pakai mie instant maksud saya. Itupun sehari cuma makan sekali dan ngutang pula. :-(

Karena kedatangan kami tanpa membuat janji sebelumnya, maka kami gagal menemui Mahaguru. Di tengah perasaan lapar, lalu terlintas dalam pikiran saya bahwa hakekatnya manusia itu sama dengan hewan pemamah biak. Manusia dengan akal dan budinya bisa saja memamah biak gossip, memamah biak proyek, memamah biak aib orang lain, dan sebagainya. Bentuk-bentuk manusia seperti ini sudah sering mengontrak tayangan TV maupun berita online. Bahkan seni pertunjukan yang biasanya menyuguhkan term of reference dari batasan ruang, bentuk, dan waktu untuk memberikan pencerahan kepada penonton, kadang memanfaatkan sektor gossip dan aib untuk meraih keuntungan. *Dalam perbuatannya itu saya tidak ingin membahas tentang haram/tidak, karna saya terlalu pusing untuk hal itu. Yang terpenting bagi saya adalah bermanfaat atau tidak.

Di tengah rasa lapar yang terus menghantui, tiba-tiba rekan sekolah saya mengirimkan pesan melalui BBM (BlackBerry Messeger). Pesan tersebut mengingatkan tentang esensi group yang saya bentuk. Group yang beranggotakan dari beberapa negara ini memang sering saya gunakan untuk bersilaturahmi dengan kakak tingkat saya di daerah. Selain itu, issue Coexistence in the Multicultural World (kebersamaan dari berbagai macam Negara/Bhineka Tunggal Ika) yang kami usung, ternyata sering mempermudah kami untuk mendatangkan devisa lewat proyek-proyek tertentu.

Entah ilmu apa yang dimiliki oleh rekan saya itu, tiba-tiba ia mengajarkan saya ilmu yang sangat luar biasa, yakni bersedekah. Karna di dalam group terdapat perwakilan dari berbagai macam agama dan Negara, maka rekan saya mengingatkan untuk bersedekah ala Islam, Budha, Kristen dan Katolik. Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam mengajarkan umat untuk menyisihkan 3% sebagai persembahan, Budha 7%, Kristen Katolik 10%.  Atas usulnnya ini, kemudian saya disarankan untuk menyisihkan 20% dari pendapatan dan dikembalikan ke masyarakat lewat yayasan sosial. *Alasan mengapa jadi 20%, dikarenakan hasil penjumlahan dari issue yang kami usung. Setelah hal itu kita lakukan, atas sarannya juga, kita bisa menambahkan kata “plus” untuk setiap proyek/program yang akan kita jalankan sebagai sugesti kelancaran.

Sebagai Contoh:  kita memiliki usaha dibidang salon kecantikan. Karena kita telah berbuat kebaikan dengan me-make over seseorang menjadi cantik, bersedekah lewat yayasan sosial; maka setelah itu, kita bisa menyematkan kata plus dibelakangnya. Maksud kata plus di sini berarti salon plus doa dan restu dari masyarakat Indonesia. Bukan “plus” yang lain.

sumber foto: Laurentius Adhi Nugroho, Kagama-Jogjakarta

Dalam hitungan matematik, memberikan sesuatu yang kita punya kepada orang lain adalah hal yang merugikan diri sendiri, tetapi sebagai manusia yang berbudi luhur, tentu kita bisa menghindar dari sifat memamah biak.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline