Lihat ke Halaman Asli

Keputusan

Diperbarui: 17 Desember 2015   02:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Waktu kita belum terhenti adinda. Ruang kita juga belum terpisah. Aku masih yakin besok masih ada hari-hari yang yang kita lalui. Kita: kau dan aku.

Keraguan itulah yang menjadi tembok tinggi dan tebal yang menjadi jarak kita. ia adalah tembok yang tak bisa dinaiki atau ditembus hanya dengan untaian do’a serta baris kata-kata. ia hanya bisa dilalui dengan keberanian serta keyakinan.

Aku tahu kau hanya menungguku menmbus tembok itu atau meruntuhkannya. Ya, kau tahu karena kau jualah yang membangun tembok itu. sedang kau, masih seperti biasa:dirimu beserta ketenangan yang berbalut senyuman. Sesekali kaupun mengumamkan harapan serupa mantra, “aku bukan dewi shinta, bukan pula Rabi’ah.” Dan aku pun tak seperti arjuna atau hanoman.

Siapa yang paling berkuasa atas diri kita adinda? Siapa jua yang akan bertanggung jawab atas diri kita? siapa yang tahu apa yang akan kita temui di balik tirai esok hari? Dan apa yang akan menjadi buhul teguh yang mengikat kita?

Ada bayang-banyang hitam yang kadang datang. Ia seakan ekor yang bergelayut di belakangku atau ia seperti sekawanan gagak di atas kepalaku. Ia membuatku gugup, berdebar, merinding dan membuatku hilang arah, lupa pada adinda di sana. Bayang-bayang itu kelam. Ia berbau tajam namun tak urung membuatku menginginkannya dan di sisinya aku datang. Ia sperti memberiku jalan untuk bebas dari kekangan. Ia seirn datang saat malam, terutama saat aku dalam kesendirian.

Saat pagi datang ada embun yang menyapa tubuhku. Ia sejuk dan menenangkan. Setiap tetes beningnya ia seakan berkata; “Selesaikan semua kusam dan lekat hitam di tubuhmu. Karena yang suci hanya akan bertemu dengan yang suci”. Kadang aku ikuti anjuran mulia itu, dan saat itulah aku sering teringat engaku adinda. Engkau yang masih menunggu dengan rapalan do’a tanpa jeda.

Banyang-banyang terkadang lebih menggoda dari embun yang penuh dengan kepastian. Namun keduanya tetap butuh satu hal yang sama, ia bernama keyakinan dan keberanian. Barangkali aku tak belum punya itu, atau aku masih terpesona dengan segal bayang-banyang itu? aku masih bergelut. Masih melangkah dengan kaki dan wajah yang kadang berbeda. Atau aku masih kakiku masih ingin menjelajah.

Waktu dan ruang yang masih tersedia itu akhirnya menjadi hampa. Ia akhirnya membentuk dua arah jalan. Untuk kita, atau untuk segala ingin yang masih kusimpan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline