Lihat ke Halaman Asli

Andre Panzer

Penulis lepas, buruh tapi bukan budak

Bijak Gunakan Kebebasan Berpendapat, Mempengaruhi dan Berpikir

Diperbarui: 14 Maret 2016   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: eaglerising.com"][/caption]Di tengah polemik pencalonan (kembali) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur Provinsi DKI Jakarta, sebuah kolom di media online mengutip seorang pengamat antah berantah yang mengatakan, memilih pemimpin yang seiman atau berdasarkan tuntunan agama adalah kebebasan, sama seperti mereka yang memilih pemimpin berdasarkan profesionalitas walaupun tidak seiman. Jadi alasan demikian tidak boleh disalahkan karena merupakan hak yang tidak dapat diganggu-gugat.

Terlepas dari kenyataan bahwa dalam kolom tersebut si pengamat melanjutkan dengan berbagai pernyataan bernada radikal dan diskriminatif, konsep yang ia kedepankan relatif benar: alasan orang memilih tidak dapat disalahkan atau diganggu-gugat.

Kurang lebih sama saja dengan alasan orang menikah. Selama tidak ada kaidah legal formal pernikahan yang dilanggar, tidak masalah apakah Anda menikah karena cinta atau uang, apalagi jika pernikahan itu ternyata langgeng sampai Anda melihat keturunan ketiga dan keempat, dan akhirnya maut memisahkan Anda.

Tetapi yang menjadi pertanyaan adalah, apakah alasan itu layak dikemukakan, dan disebarluaskan dengan tujuan mempengaruhi orang lain agar mengikutinya? Apakah sebagai orang tua saya boleh mengajarkan putra saya untuk menikahi wanita yang mudah ditipu untuk selingkuh, atau kepada putri saya untuk menghabiskan harta suaminya?

Inilah yang menjadi titik kritis dalam polemik kebebasan berpendapat di alam demokrasi. Anda bebas berpendapat, itu benar. Tetapi ketika pendapat Anda itu dibawa ke ranah publik, apakah, pertama: alasan itu memang layak diajarkan kepada publik? Apakah pemimpin yang seiman itu dalam skala publik lebih penting daripada profesionalitas dan transparansi? Atau sebaliknya, kita memilih pemimpin hanya sebagai bentuk penolakan terhadap kekakuan dan kemunafikan fundamentalis agama dan birokrat politik?

Dan kedua: siapkah Anda untuk mendengarkan pendapat yang lain? Atau ketika Anda mengutarakan pendapat di ruang publik, Anda (meminjam istilah Teddy Roosevelt) berbicara dengan sopan tetapi membawa pentungan besar, untuk menghajar siapa saja yang tidak sependapat? Jika ada yang tidak sependapat Anda teriaki “kafir!”, “komunis!” dan “antek asing!”; atau sebaliknya “rasis!”, “munafik!” dan “bahlul!”. Dengan kata lain, apakah Anda mengutarakan pendapat untuk membungkam orang lain?

Di berbagai tempat, khususnya Indonesia, hal ini bukan hanya kritis, tetapi bisa menjadi berbahaya. Mengapa? Karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang (tolong carikan istilah yang lebih tepat) sensasional dan superfisial: suka heboh pada hal-hal yang dangkal! Seorang kawan menyimpulkan dengan tepat: malas membaca tetapi cepat menyimpulkan. Kita sangat mudah terpengaruh headline atau judul berita yang bombastis, dan baru kemudian membaca isi beritanya dengan sudut pandang yang telah terbentuk dari judul tersebut.

Menarik mengulas sedikit mengenai pola pikir semacam ini. Kaum konservatif biasanya mudah terpengaruh dengan headline yang diawali dengan jargon rohani seperti “Astaghfirullah!” yang dilanjutkan dengan cuplikan yang menyinggung agama mereka, atau “Subahanallah!” kemudian diikuti dengan berita kemenangan agama mereka. Kelompok progresif biasanya gemar dengan kata-kata “Bangga!” atau “Dunia Heboh!” yang mengawali kesuksesan orang atau produk buatan Indonesia, umumnya di kancah internasional.

Sudah malas membaca, maka mencari referensi lebih-lebih lagi. Umumnya kita mencari referensi hanya dari sumber-sumber yang sejalan dengan pendapat kita, bukan yang netral apalagi kritis. Masih mending jika referensi itu digunakan untuk membuat orang mengerti dasar atau latar belakang pendapat kita. Tetapi kita menggunakannya hanya untuk membuat pendapat kita (dan kita sendiri) terlihat cerdas! Asal ada kutipan puluhan ayat kitab suci, atau mengutip pendapat Prof. Dr. Ir. Anu dan KH Fulan MS, MA, BA, XXX; kita langsung percaya. Kita teramat-sangat parah dalam memahami suatu subjek, apalagi konteks dari subjek tersebut.

Akibatnya mudah ditebak: debat kusir. Dan pepatah “Gajah bertarung lawan gajah, pelanduk mati ditengah-tengah” menjadi self-fulfilling prophecy: orang yang “waras” tidak dapat mengemukakan pendapat dengan rasional karena terhimpit oleh kekuatan saling bunuh dari mereka yang berkoar-koar atas nama kebebasan berpendapat. Bahkan jika seandainya si “pelanduk” yang bijak itu mengutarakan logika yang membenarkan pendapat salah satu “gajah”, ia akan tetap mati bersama “gajah” yang lain karena bukan kejelasan masalah itu yang penting, tetapi pendapat saya yang menang.

Yang tidak kalah berbahaya sebenarnya adalah “serigala berbulu domba” dalam arena publik. (Atau lebih tepat “gajah berbulu pelanduk”?) Orang-orang ini sering memakai alasan “supaya lebih berimbang” yang terdengar logis, tetapi sebenarnya mereka menggunakan “netralitasnya” untuk membiarkan salah satu pihak yang ia setujui untuk tetap berkoar-koar. Contohnya tentu saja si pengamat yang saya sebutkan di awal tulisan tadi: bebas-bebas saja memilih berdasarkan ras dan agama (namanya juga pilihan!), tetapi di saat yang sama ia membenarkan sikap bigotry dan diskriminatif untuk diajarkan kepada publik. Mungkin juga karena tahu persis bahwa masyarakat Indonesia mudah terpengaruh oleh mereka yang berteriak paling keras (heboh tapi dangkal), selama mereka sepihak dengannya, ia dengan santai membiarkan hal itu terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline