Lihat ke Halaman Asli

Dan Sebaliknya, Komitmen Guru adalah Komitmen Kepala Sekolah

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tak ada guru yang tak berkomitmen, sebelum ia bekerja di sekolah tempatnya berprofesi. Tanpa ia berkomitmen, tentu kepala sekolah tidak akan mau menerima. Tetapi, masih diingatkah masa-masa itu?

Semestinya masa itu, waktu pertama kali melamar pekerjaan menjadi guru, menjadi tonggak yang ditancapkan menandai visinya di dunia pendidikan. Tetapi kenyataan selalu bicara tidak seideal itu.

Banyak guru ternyata gagal merawat komitmennya dengan baik, mereka tidak mampu menjaga kesuburannya demi memberikan kesejukan bagi dunia pendidikan. Lalu pelan-pelan pupus dari taman suara hati dan tak lagi bernyanyi mengiringi setiap detakan jantung kegiatan pembelajaran di ruang-ruang kelas.

Betapa tidak? Ada kurang-lebih dua juta orang guru non PNS yang akhir-akhir ini semua menginginkan di-PNS-kan. Dan untuk 2010, pemerintah baru melayani mereka yang tercecer sebanyak sekitar 190 ribu orang tenaga honorer sesuai persyaratan dalam PP 48/2005 jo PP 43/2007.

Seandainya cita-cita mereka itu dikabukan pemerintah, apakah setelah PNS mereka akan menjadi semakin berdedikasi? Apakah kinerja selalu dikiblatkan ke arah terlibat sebesar-besarnya dalam upaya berprestasi?

Untuk menjawab itu, kepala sekolah juga wajib mengimbangi dengan membuat komitmen. Dan agar komitmen guru tetap terpelihara, maka kepala sekolah yang memberikan teladan bagaimana komitmen diteguhkan. Oleh karena itu, kepala sekolah  perlu mengupayakan banyak hal sebagai pendukung dan pendorong teguhnya  komitmen guru.

Kepala sekolah yang demikian harus mampu menyediakan biaya dan fasilitas. Sehingga, apabila guru mulai lupa atau menyimpang dari komitmen semula, semua dukungan dan dorongan itu harus pula dilepaskan. Jadi, berkomitmen bukanlah menyatakan janji secara mutlak yang tidak bisa diubah-ubah lagi, tapi tergantung pada sikap atasan, komitmen bawahan bisa dirobohkan atau diperteguh bangunannya.

Pada fenomena tersebut, pihak guru pasti sering menerima rapor merah lebih dahulu. Sedang rapor merah bagi kepala sekolah bukan urusan guru. Mengingat posisinya yang sedemikian superior seperti ini, maka kepala sekolah tidak boleh lelah mendorong guru agar selalu pada jalur komitmen semula.

Tetapi, kedua belah pihak baik guru maupun kepala sekolah harus menyadari, bahwa berkomitmen tidak semestinya berat sebelah seperti itu. Masing-masing pihak wajib mewujudkan komitmen selangkah demi selangkah, dan saling mengawal ketat di setiap tahapnya.

Sayang, dari pelbagai berita tentang UN 2010, ternyata komitmen kejujuran pun sudah dinodai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline