Lihat ke Halaman Asli

HAM, Rasio, LGBT, Moralitas, dan Negara

Diperbarui: 17 Januari 2018   05:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hak Asasi Manusia (HAM) berpangkal pada rasio. Dan karena setiap manusia punya rasio, itulah kenapa HAM bersifat universal. Manakala HAM menjadi bersifat partikular, yang dapat dibatasi/dikurangi menurut agama dan adat istiadat negeri-negeri setempat, seperti yang dimuat di Deklarasi HAM versi Kairo, maka ini menandakan bahwa rasio manusia tidak lagi dianggap universal. Bahwa di negeri-negeri tertentu, rasio manusia dapat dibatasi, rasio manusia harus tunduk pada nilai-nilai tertentu di luar rasio. Tapi tentu ini masih bisa diperdebatkan. Penempatan posisi rasio dalam hubungannya dengan manusia, alam, tuhan, dsb telah menjadi perdebatan filosofis sejak zaman Yunani Kuno.

Di Indonesia sendiri, diskursus tentang HAM belumlah final. Atau bahkan dapat dikatakan bahwa usia wacana HAM di Indonesia masihlah belia, sebab selama ini Orde Baru mengubur HAM sepanjang 32 tahun. Berpikir secara kefilsafatan juga belum menjadi sebuah tradisi yang populer, bahkan untuk sekedar di kalangan intelektual.

Salah satu contoh kasus menarik tentu saja pada isu LGBT yang sempat didiskusikan dan ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Berkali-kali argumen-argumen yang dilayangkan selalu dikembalikan pada Pancasila sebagai ideologi positif negara Indonesia, tanpa dilakukan penggalian filosofis atas konsepsi HAM berdasarkan Pancasila (sebagai sumber hukum negara) itu sendiri. 

Layakkah negara menggunakan koersi pada kehidupan privat seseorang? Pertanyaan ini selalu muncul, dan selalu tak terjawab. Problem seputar rasionalitas selalu dibenturkan dengan moralitas positif yang penjelasannya tak boleh diperdebatkan karena bersifat sakral.

Ketika HAM dan segala konsep rasionalitasnya dicela karena klaimnya yang bersifat universal, toh nilai-nilai agama (terutama agama semit) juga pada dasarnya mengklaim universalitas nilainya sendiri. Karena suatu agama pasti punya doktrin penciptaan dunia yang hukum-hukumnya berlaku di setiap ruang dan waktu, yang kemudian menderivasi konsep-konsep moral yang wajib dipatuhi oleh umatnya. 

Bahkan ruang lingkup universalitas agama lebih luas ketimbang HAM. Dalam HAM, tidak ada aturan bagaimana melakukan makan, tidur, cebok, dan hal-hal privat lainnya. Tapi agama mengatur itu semua. Bagaimana doa sebelum makan, jam tidur, tangan mana yang mesti digunakan untuk cebok, hanya agama saja yang mengatur secara rigid atas segala hal dalam hidup dan mati.

Manakala sumber hukum suatu negara didasarkan pada agama tertentu, maka barang tentu, negara dapat memberi koersi pada setiap jengkal aktivitas kehidupan warga negaranya berdasarkan ketentuan moral agama yang dijadikan hukum positif. Tapi persoalannya, mungkinkah ada negara yang dapat melakukan hal demikian? Berapa anggaran negara yang dibutuhkan untuk menghukum seorang yang makan tanpa berdoa? Berapa jumlah polisi yang dibutuhkan untuk mengintai warganya agar tak berzinah? Negara semacam itu tidak pernah dan tidak mungkin ada. 

Negara bukanlah semacam tuhan yang maha mengetahui, dan maha berkuasa atas segalanya. Negara hanyalah sebuah institusi ciptaan manusia, yang memiliki banyak keterbatasan, dan memang sengaja dibuat berdasarkan batasan-batasan. Lebih dalam lagi, Friedrich Engels berkata bahwa negara hanyalah suatu fenomena historis tertentu dalam masyarakat tertentu.

Inilah kenapa kemudian tidak semua aturan agama dapat dijadikan hukum positif bagi setiap warga negara (atau dalam istilah Foucault digunakan untuk mendisiplinkan tubuh). Katakanlah seorang umat beragama tertentu, tidak diajarkan untuk membenarkan praktek LGBT karena itu tindakan dosa, terkutuk, bukan teladan nabi, dsb.

 Seorang pemuka agama berhak untuk menganjurkan umat di komunitas keagamaannya, agar tidak melakukan perbuatan semacam itu. Anjuran dan seruan di internal komunitasnya ialah hak dia dalam rangka melaksanakan perintah agama. Tapi hal ini tidak dapat berlaku pada negara. Negara tidak memiliki agama, tidak bertuhan, tidak bisa masuk surga atau neraka. Seorang ayah bisa menyuruh anaknya ke gereja, tapi dia tidak bisa menyuruh negara supaya memaksa anaknya untuk ke gereja.

HAM dibuat untuk melakukan pembatasan-pembatasan semacam itu. Dibuat agar negara tidak bertindak berlebihan, dalam artian mengintervensi segala urusan individu. Sebagaimana itulah fungsi rasio pada manusia, agar dirinya dapat memilah benar, salah, baik, buruk, mungkin, tidak mungkin, konsisten, kontradiktif, dsb. Fungsi itu ada pada diri setiap manusia. Dan pada fungsi yang demikian itu, apakah keliru jika kemudian HAM bersifat universal?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline