"Tapi anda telah pergi dari Palestina selama hampir dua ribu tahun! Sebelumnya anda telah memerintah negeri ini, dan hampir seluruh wilayahnya, selama kurang dari lima ratus tahun. Tidak kah anda berpikir bahwa orang-orang Arab bisa, dengan pembenaran yang sama, dapat menuntut Spanyol untuk diri mereka sendiri---karena, bagaimanapun juga, mereka memegang kekuasaan di Spanyol selama hampir tujuh ratus tahun dan kehilangannya hanya lima ratus tahun yang lalu?"
Artikel sebelumnya di Kompasiana: Memahami Zionisme (Bagian 4): Siapa "Kanaan" di Dalam Alkitab?
Leopold Weiss (1900-1992) adalah seorang intelektual Yahudi Austria yang menjalani kehidupan yang menakjubkan sebagai seorang ilmuwan, sekali waktu pernah menjadi mata-mata, pernah juga menjadi prajurit, dan terakhir menjadi seorang diplomat. Hidupnya benar-benar menarik, dan kisahnya pernah dituliskan dalam sebuah otobiografi yang berjudul 'The Road to Mecca' (Jalan Menuju Mekah). Pada akhirnya dia masuk Islam dan mengubah namanya menjadi Muhammad Asad.[1]
Berikut ini adalah dialog antara Muhammad Asad dengan Dr. Chaim Weizmann, Presiden Organisasi Zionis Dunia, mengenai Palestina:
"Saya masih ingat sebuah diskusi singkat yang saya lakukan Bersama Dr. Chaim Weizmann, pemimpin gerakan Zionis yang tak terbantahkan lagi. Dia datang dalam rangka salah satu kunjungan berkalanya ke Palestina (tempat tinggalnya yang permanen, saya percaya, berada di London), dan saya bertemu dengannya di rumah seorang teman yang Yahudi. Salah satu hal yang mengesankan dari orang ini adalah energinya yang sangat besar---sebuah energi yang termanifestasikan dengan sendirinya, bahkan dalam gerak-geriknya, dengan langkah panjang dan gesit dia naik turun ke atas dan bawah ruangan---dan dengan kekuatan intelektual yang tampak dari dahinya yang lebar dan tatapan matanya yang tajam.
Dia berbicara mengenai kesulitan finansial yang menjadi kendala bagi terwujudnya mimpi mendirikan pemukiman nasional Yahudi, dan respon yang kurang terhadap mimpi ini dari orang-orang di luar negeri; dan saya memiliki kesan yang mengganggu bahwa bahkan dia, seperti kebanyakan Zionis lainnya, cenderung mengalihkan tanggung jawab moral untuk semua hal yang terjadi di Palestina ke 'dunia luar'. Hal tersebut mendorong saya untuk menerobos kecanggungan karena hormat yang mana setiap orang yang hadir hanya mendengarkan dia saja, dan bertanya:
'Dan bagaimana dengan orang Arab?'
Saya telah melakukan kebodohan dengan mengangkat sebuah isu sensitif ke dalam pembicaraan, maka Dr. Weizmann menolehkan wajahnya perlahan ke arah saya, meletakkan cangkir yang dipegang di tangannya, dan mengulangi pertanyaan saya:
'Bagaimana dengan orang Arab ...?'
'Ya, bagaimana anda bisa berharap untuk menjadikan Palestina sebagai rumah anda di hadapan perlawanan keras orang-orang Arab yang, lagi pula, merupakan mayoritas di negara ini?'
Pemimpin Zionis tersebut mengangkat bahunya dan menjawab dengan datar: 'Kami kira dalam beberapa tahun lagi mereka tidak akan menjadi mayoritas.'