"Kiai Marogan mempunyai dua anak yatim di Palembang. Karena hal itulah beliau memutuskan untuk meninggalkan Mekah dan kembali ke Palembang selamanya."
Di masa Kiai Marogan hidup, di Palembang hanya terdapat satu buah masjid, yaitu Masjid Agung Palembang yang didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin. Palembang merupakan sebuah daerah yang cukup luas, sehingga Kiai Marogan mempertimbangkan untuk mendirikan masjid lagi untuk menampung kebutuhan beribadah umat Islam Palembang. Pada zaman itu Islam sedang berkembang dan pengikutnya sudah mulai bertambah banyak. Jangan pula bayangkan Palembang kondisinya seperti sekarang ini, pada waktu itu bagi masyarakat Palembang yang misalnya tinggal di daerah Kertapati atau Tangga Buntung, perjalanan menuju Masjid Agung dianggap cukup jauh.[1]
Dengan demikian, maka dibangunlah dua masjid lagi, satu berada di daerah Ulu, satu lagi di daerah Ilir, kedua-duanya tepat berada di pinggir sungai Musi. Masjid yang berada di Ulu dinamakan Masjid Muara Ogan atau Masjid Kiai Muara Ogan, dinamakan demikian karena lokasinya tepat berada di ujung Muara Ogan yang berbatasan langsung dengan Sungai Musi. Satu lagi yang berada di Ilir dinamakan Masjid Lawang Kidul. Sampai saat ini belum ditemukan literatur yang menjelaskan kenapa masjid ini dinamai Lawang Kidul.[2]
Masjid Muara Ogan dan Masjid Lawang Kidul dikatakan merupakan kembaran, karena desainnya sama persis dan diarsiteki oleh Kiai Marogan sendiri ketika sedang proses pembangunannya. Kedua masjid ini dianggap bersejarah karena termasuk masjid tua yang dibangun pada masa-masa awal penyebaran Islam di Palembang. Masjid Muara Ogan dibangun pada tahun 1870, sedangkan masjid lawang kidul pada tahun 1889.[3]
Menurut penelitian Dr. Taufik Abdullah, pada abad ke-19 Palembang belum mengenal pesantren seperti di pulau Jawa. Sehingga masjid di Palembang pada waktu itu bukan sekedar digunakan untuk ibadah ritual saja, tapi juga sekaligus digunakan sebagai tempat untuk belajar mengaji dan pembinaan umat yang mencakup pendidikan tentang akidah, syariah, dan akhlak.[4]
Anak Yatim
Kiai Marogan semasa hidupnya dikenal sebagai orang yang sangat cerdas dan cepat dalam mempelajari ilmu-ilmu agama yang diberikan kepadanya. Tidak merasa cukup belajar di dalam negeri, maka dia meminta izin ke ibunya untuk belajar ke Mekah untuk lebih memperdalam ilmu-ilmu agama Islam.[5]
Di Mekah, beliau mempelajari dan memperdalam ilmu Tasawuf, ilmu Falak, ilmu Fiqih, dan ilmu Hadits. Hal tersebut dapat diketahui dari isnad-isnad yang diterbitkan oleh Syekh Yasin Padang (Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani), mudir(pimpinan) Madrasah Darul Ulum di Mekah.[6]
Kemudian pada suatu hari, ketika Kiai Marogan sudah cukup lama menuntut ilmu di Mekah, beliau berkata kepada teman-temannya di sana bahwa beliau akan kembali ke Palembang selamanya dan tidak akan kembali lagi ke Mekah. Mendengar hal tersebut teman-temannya terkejut dan bertanya, "mengapakah Tuan Syekh mau juga pulang ke tanah Jawi (maksudnya Indonesia)? Bukankah semua orang amat berharap selalu dekat dengan Masjidil Haram di mana sekali shalat di sana dinilai Tuhan lebih dari seratus ribu kali pahalanya dibandingkan dengan shalat di tempat lain?"[7]