Lihat ke Halaman Asli

Industri 4.0 dan Jalan Riuh Diskursus Modernisasi

Diperbarui: 16 Februari 2019   14:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Data dan

Hingga hari ini, revolusi Industri 4.0 menjadi sebuah diskursus utama di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Tentu istilah itu sudah menjadi istilah yang populis dan tak asing di telinga kita. 

Semua negara terlibat dalam proses modernisasi sebagai persiapan menghadapi agenda agung 4.0.  Tapi apakah kita mengerti betul apa yang dimaksud dengan revolusi industri 4.0? Mungkin iya, mungkin tidak. Setidaknya pernah mendengar. Yang pasti adalah pemerintah selalu menghimbau warganya untuk mempersiapkan diri menuju revolusi industri 4.0.

Fenomena Revolusi Industri 4.0 dan Timbulnya Ketakutan Berlebih

Mendengar istilah Revolusi Industri 4.0 atau Industri 4.0 menjadi momok menakutkan bagi manusia di hari ini. Perasaan insekuritas manusia terlihat sangat dominan dalam diskursus-diskursusnya, bahkan hingga entitas mikro seperti ruang-ruang diskusi kopi di kalangan mahasiswa. Terma horor "otot diganti robot" menggambarkan bahwa Industri 4.0 (akan) menggeser keterlibatan manusia dalam kerja-kerja produksi digantikan robot-robot otomatis.  

Bahkan riset McKinsey mengklaim bahwa sekitar 50 juta pekerjaan diprediksi akan "hilang dalam beberapa waktu ke depan."2 Terutama di sektor manufaktur. Pendiri sekaligus Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) Klaus Schwab berpendapat revolusi teknologi sedang berlangsung "yang mengaburkan batas antara bidang fisik, digital, dan biologis."

Ekonom Indonesia Rhenald Kasali dalam tulisannya di Kompas3 ia menggambarkan bahwa teknologi perlahan tapi pasti akan menggantikan tenaga manusia. Ia memberikan contoh yang terjadi di beberapa negara dunia yaitu kuli angkut pelabuhan yang kini diganti crane dan forklift dan buruh pelabuhan perlahan mulai punah. Tak hanya di pelabuhan, di supermarket pun anak-anak muda beralih dari tukang panggul menjadi penjaga di control room. 

Mungkin gambaran tersebut terlihat 'baik' karena manusia lantas menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang beresiko tinggi. Tapi di balik itu, jutaan pekerja dibebas-kerjakan alias PHK. 

Kita ambil contoh di Amerika Serikat, jumlah tenaga kerja di sektor manufaktur menurun drastis di tahun 2017 hingga dibawah sepuluh persen yang sebelumnya mencapai kurang lebih 26% di tahun 1960.4 

Prediksi Rhenald Kasali akan hilangnya pekerjaan tidak hanya menyasar di sektor manufaktur, tapi juga di sektor jasa, contohnya pengantar pos, penerjemah, dan pustakawan juga akan munyusul.3 

Bagaimana dengan sektor pertanian? Di Amerika Serikat, sektor pertanian dari total pekerjaan menurun dari 60 persen pada tahun 1850 menjadi kurang dari 5 persen pada tahun 1970. Negara-negara lain bahkan mengalami penurunan yang lebih cepat: sepertiga dari tenaga kerja Tiongkok pindah dari pertanian antara tahun 1990 dan 2015.4

Aura 'ketakutan' ini tidak hanya dialami oleh kita-kita sendiri, pemerintah pun tak luput mengalaminya. Di awal tahun 2018, pemerintah berencana melakukan pelatihan bagi elit-elit birokrat setingkat eselon I, II, III, IV di 34 kementerian. Pelatihan tersebut terangkum dalam program diklat revolusi mental untuk implementasi Revolusi Industri 4.0 di Indonesia. 

Pelatihnya pun tak tanggung-tanggung, pemerintah langsung mendatangkan dari universitas-universitas ternama di dunia seperti Tsinghua University Tiongkok dan Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan Temasek Singapura.5 

Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan juga mengembangkan pelatihan-pelatihan di bidang teknologi informasi secara masif yang diadakan di Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di Indonesia.6

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline