"Kemanusiaan akan terus pincang, selama saf yang satu menindas saf yang lain. Harmoni hanyalah dapat tercapai kalau tidak ada saf satu di atas saf yang lain, tetapi dua saf itu sama derajat, berjajar yang satu di sebelah yang lain, yang satu memperkuat kedudukan yang lain." Begitu kata Bung Karno dalam bukunya Sarinah (1947). Soekarno mengkritik atas apa yang menjadi stigma selama ini bahwa laki-laki lebih mampu untuk melakukan berbagai hal ketimbang perempuan. Pada kenyataannya, banyak hal-hal yang mengagumkan dari seorang perempuan. Kebudayaan laki-laki dan perempuan pun sama tuanya--juga sama tuanya dengan kemanusiaan.
Hal itu pun sejalan atas apa yang disampaikan oleh Simone de Beauvoir (1989) "One is not born a woman, one becomes one." (seseorang tidak dilahirkan sebagai perempuan, tetapi menjadi perempuan). Walaupun antara perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan, namun perbedaan tersebut hanya terbatas pada kodrat saja. Akan tetapi hal-hal yang bersifat kodrati atau apa dimaksud dengan "kodrat perempuan" telah mengalami perubahan serta transformasi sehingga menjadi bias makna. Namun siapa yang saat ini berani mengatakan bahwa memang kodrat perempuan berbadan lemah, berjalan tunduk, berpikir dungu, berperasan sempit, dan berkemauan tak menentu?
Polemik Gender Dalam Masyarakat Nelayan
Menurut Karl Marx masyarakat adalah suatu struktur yang menderita suatu ketegangan organisasi atau perkembangan akibat adanya pertentangan antara kelompok-kelompok yang terbagi secara ekonomi. Akibat adanya pertentangan tersebut bisa dikatakan bahwa hubungan individu dan masyarakat bersifat dialektis, di mana perkembangan individu menjadi indikator perkembangan masyarakat, dan perkembangan masyarakat menciptakan kondisi-kondisi untuk perkembangan penuh individu.
Bagi Coontz (1986) dalam suatu masyarakat terdapat anggapan bahwa kerja-kerja reproduksi sosial seperti merawat anak, memasak, dan mengurus rumah masih selalu dikonstruksikan secara sosial sebagai tanggung jawab individu perempuan (semata). Sejak lama tubuh perempuan telah dikonstruksikan untuk sekadar berperan sebagai: alat reproduksi yang hanya melakukan kerja reproduktif. Sehingga bisa dikatakan bahwa perempuan hanyalah objek kepemilikan oleh laki-laki. Sedangkan laki-laki dikonstruksikan secara sosial sebagai seorang yang hanya berkewajiban mencari nafkah. Melalui konstruksi kultural dan sosial, beberapa dari perempuan hari ini pun terlihat tidak sadar akan posisi seharusnya dalam masyarakat. Mereka lebih menerima dengan lapang dada apa yang terjadi. Hal inilah yang sering ditemukan dalam masyarakat nelayan.
"Karena eksploitasi dari satu kelas terhadap kelas lainnya adalah basis peradaban, maka seluruh perkembangannya bergerak di dalam kontradiksi yang berkelanjutan." Frederick Engels
Kita ambil contoh penelitian masyarakat pelayar Bugis di Bira, Sulawesi Selatan dari Seorang Doktor Fakultas Hukum UI, Jufrina Rizal. Dalam penelitian tersebut mengemukakan bahwa seorang laki-laki diibaratkan sebagai seorang yang mempunyai kedudukan juragan dalam rumah tangganya. Sebagai juragan, ia adalah pemimpin yang mempunya kekuasaan yang besar baik ke dalam maupun ke luar dalam hal yang menyangkut rumah tangganya. Dan kewajiban utama adalah mencari nafkah. Sebaiknya istri diibaratkan sebagai jurumudi, orang yang akan menyelenggarakan urusan domestik. Tugasnya terpusat pada mengurus anak, dapur, dan rumah tangga. Adanya ungkapan yang tumbuh dalam masyarakat bahwa pekerjaan wanita hanya sampai batas 'dinding rumah' dan laki-laki sampai 'ujung langit', ditambah pula dengan anggapan sebagian besar laki-laki bahwa pekerjaan rumah tanggalah yang diketahui perempuan (jama-jamang sapo naisseng bahinea). Pada masyarakat Bira, keadaan ini nampaknya diperkuat pula dengan adat istiadat yang mengatur segala 'kepatutan-kepatutan' yang boleh dilakukan wanita, yang teruang dalam suatu atorang. Atorang-atorang yang berlaku pada masyarakat Bira, sangat membatasi ruang gerak wanita untuk bertingkah laku termasuk juga dalam melakukan pekerjaan atau kegiatannya.
Hal yang serupa pun terjadi pada masyarakat nelayan Jawa, terutama bagian pantai utara (pantura) Jawa. Menurut Kusnadi, wujud posisi tersebut adalah: Pertama, penguasaan alatalat produksi dan alat tangkap yang sederhana. Nelayan perempuan hanya aktif dalam pemanfaatan sumber daya perikanan tangkap yang terbatas. Kedua, akses nelayan perempuan terhadap modal usaha yang terbatas. Baik secara politik maupun kultural, posisi profesi nelayan perempuan dipermasalahkan. Ketiga, pengembangan teknologi produksi yang sulit berkembang dengan modal dan investasi yang terbatas (Satria, 2012). Kondisi tersebut berimplikasi kepada empat hal sekaligus. Pertama, kemiskinan struktural sekaligus kultural dalam masyarakat pesisir, berkaitan dengan tidak berdayanya perempuan nelayan yang ada. Kedua, lemahnya akses pemanfaatan sumber daya perikanan bagi nelayan perempuan, alhasil perekonomian keluarga hanya ditopang oleh laki-laki. Ketiga, sulitnya mengakses pasar, termasuk tidak adanya perlindungan dan sukarnya implementasi dari kebijakan normalisasi harga sumber daya perikanan dari nelayan kecil. Keempat, akses nelayan kecil, termasuk nelayan perempuan dalam melakukan pengelolaan perikanan berkelanjutan. Bila kita menggunakan cara pandang Engels (2011), kita melihat bahwa apa yang dinamakan dengan kekuatan produksi yang tadinya dimiliki oleh perempuan, kini dimiliki oleh laki-laki. Hal ini membuat laki-laki memiliki kekuatan untuk menguasai tak hanya sarana produksi, namun juga lawan jenisnya yaitu kaum perempuan. Dan keterisolasian ini menurut Dalla dan James (1973) berdampak pada hal yang lebih jauh, seperti adanya kesangsian di dalam masyarakat bahwa perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Kesangsian ini muncul karena kerja reproduksi sosial yang dilakukan perempuan di rumah (unpaid domestic labour) dianggap sebagai kerja ringan yang tidak memerlukan kapabilitas sebagaimana ditunjukkan dalam kerja di sektor ekonomi produktif yang dikonstruksikan menjadi domain utama laki-laki.
Lemahnya Penegakkan Hukum Dalam Upaya Perlindungan Hak
Kita semua bersepakat bahwa keadilan menjadi unsur utama atas pemenuhan dan perlindungan hak, maka nelayan perempuan sangat penting mendapat tempat dalam diskursus ini. Kondisi umum nelayan perempuan adalah pada pola penangkapan ikan yang masih tradisional. Nelayan perempuan termasuk dalam kategori nelayan kecil, bekerja tanpa inovasi teknologi, tidak ada dukungan modal yang kuat, serta minus kelembagaan usaha yang mapan (Handajani, Relawati, & Handayanto, 2015). Perikanan skala kecil mempunyai peranan penting dalam perekonomian baik dalam aspek makro maupun mikro. Perikanan skala kecil sangat penting untuk ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan. Maka sudah seharusnya Undang-undang No 7 Tahun 2016 mampu memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada masyarakat pesisir lintas profesi, yakni nelayan kecil, perempuan nelayan, petambak garam, pembudidaya ikan dan pelestari ekosistem pesisir. Tapi kenyataannya, pendefinisian perempuan dalam Undang-undang tersebut sangatlah bias gender dan terkesan tidak mengakui peranan perempuan. Walaupun Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengeluarkan peraturan pelaksananya, yakni Peraturan Menteri No.18/2016 tentang Jaminan Perlindungan atas Resiko kepada Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam. Tapi aturan ini belum terlaksana dengan baik di desa-desa pesisir dan tingkat pengawasannya masih sangat lemah.
Pentingnya perlindungan terhadap perempuan pun juga tercantum dalam Voluntary Guidelines for Securing Sustainable Small-Scale Fisheries in the Context of Food Security and Poverty Eradication yang dikeluarkan oleh FAO. Isinya adalah negara wajib memperlakukan secara istimewa perempuan nelayan untuk mendapatkan hak-hak dasarnya sebagai berikut: 1) Perumahan yang layak; 2) Sanitasi dasar yang aman dan higienis; 3) Air minum yang aman untuk keperluan individu dan rumah tangga; 4) Sumber-sumber energi; 5) Tabungan, kredit dan skema investasi; 6) Mengakui keberadaan dan peran perempuan dalam rantai nilai perikanan skala kecil, khususnya pasca panen; 7) Menciptakan kondisi bebas dari diskriminasi, kejahatan, kekerasan, pelecehan seksual, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan; 8) Menghapuskan kerja paksa; 9) Memfasilitasi partisipasi perempuan dalam bekerja; 10) Kesetaraan gender merujuk CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan); dan 11) Pengembangan teknologi untuk perempuan yang bekerja di sektor perikanan skala kecil.