Dialektika sejarah pemikiran Islam, memunculkan berbagai aliran teologi yang menawarkan interpretasi dan pemahaman yang beragam tentang ajaran agama. Salah satu aliran yang memiliki pengaruh signifikan adalah Murjiah. Murjiah merupakan salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada masa-masa awal perkembangan pemikiran Islam, tepatnya pada abad pertama Hijriah. Kemunculan aliran ini tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial, politik, dan teologis yang kompleks pada masa tersebut (Nasution, 2002: 20-21).
Aliran ini memiliki pandangan "unik" tentang hubungan antara iman, amal, dan status keimanan seseorang. Artikel ini akan mengeksplorasi sejarah, ajaran utama, dan relevansi Murjiah dalam konteks teologi Islam, serta menganalisis ayat-ayat Al-Qur'an yang sering dikaitkan dengan pemikiran mereka.
Definisi dan Latar Belakang Munculnya Murjiah
Kata Murjiah berasal dari bahasa Arab irja' yang memiliki beberapa makna, di antaranya "menunda", "menangguhkan", atau "memberi harapan" (Nasution, 2002: 22). Dalam konteks teologi, Murjiah dikenal sebagai kelompok yang menunda penilaian tentang status keimanan seseorang hingga hari akhir, memberikan harapan akan pengampunan Allah bagi para pelaku dosa besar (Watt, 1985: 32-33}.
Kemunculan Murjiah erat kaitannya dengan situasi sosial-politik yang bergejolak pada abad pertama Hijriah. Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw., umat Islam menghadapi berbagai konflik internal, terutama yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan dan politik (Amin, 1975: 275-278).
Puncaknya adalah terjadinya fitnah besar (al-fitnah al-kubra) yang melibatkan pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan (Al-Shahrastani, 1993: 137-138). Dalam situasi yang penuh ketegangan ini, muncul kelompok-kelompok yang mengambil sikap ekstrem dalam menilai pihak-pihak yang bertikai. Khawarij, misalnya, menganggap kedua belah pihak telah kafir. Di sisi lain, Murjiah muncul sebagai kelompok yang mengambil sikap moderat dan menahan diri dari menghakimi status keimanan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut (Izutsu, 2006: 83-84).
Beberapa tokoh Murjiah yang dikenal dalam sejarah Islam seperti; Ghaylan al-Dimashqi (w. 743 M), Jahm bin Safwan (w. 745 M), Muqatil bin Sulayman (w. 767 M), Dharr bin Abdullah al-Hamdani, Muhammad bin Shabib, dan lain sebagainya (Zahrah, t.t: 113-115).
Ajaran Utama Murjiah
Pertama, konsep Iman, salah satu ajaran paling mendasar dari Murjiah adalah pemahaman mereka tentang iman. Murjiah memahami iman sebagai pengakuan dan pembenaran dalam hati (tasdiq bi al-qalb) dan pengucapan dengan lisan (iqrar bi al-lisan). Mereka cenderung memisahkan iman dari amal perbuatan, menganggap bahwa amal bukan bagian integral dari iman (Al-Ash'ari, t.t: 132-133).
Kedua, Hubungan Iman dan Amal, Murjiah berpendapat bahwa amal perbuatan, meskipun penting, tidak mempengaruhi esensi keimanan seseorang. Seseorang tetap dianggap mukmin selama masih mengucapkan syahadat dan membenarkan dalam hatinya, terlepas dari perbuatannya (Al-Baghdadi, 1977: 190-191). Pandangan ini berbeda dengan aliran lain seperti Khawarij yang menganggap amal sebagai bagian tak terpisahkan dari iman.