"Demokrasi adalah upaya bersama untuk mencapai impian bersama, bukan pertarungan antar pihak."
- John Dewey
PENDAHULUAN
Pesta demokrasi sepanjang tahun 2024 telah usai. Acara lima tahunan ini menjadi momen penting bagi masyarakat Indonesia, yang secara langsung menggunakan hak suara mereka dalam prinsip one man, one vote untuk memilih presiden, anggota legislatif, serta kepala daerah di seluruh tanah air. Proses demokrasi yang semestinya mencerminkan kedaulatan rakyat ini, sebagaimana dijelaskan oleh Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku How Democracies Die, tidak terlepas dari ancaman yang sering kali tidak muncul dalam bentuk kekerasan terbuka, melainkan melalui pengikisan norma-norma dasar demokrasi yang lebih halus dan sulit terlihat.
Levitsky dan Ziblatt menegaskan bahwa ancaman terhadap demokrasi sering kali berlangsung perlahan melalui mekanisme yang legal namun melemahkan sistem secara mendasar. Mereka menyebut fenomena ini sebagai autocratic legalism, di mana kekuasaan yang sah digunakan untuk membatasi kebebasan politik dan menurunkan kualitas demokrasi tanpa secara langsung melanggar hukum. Fenomena ini menyoroti bagaimana kebijakan yang tampaknya sah dapat disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan atau mengurangi ruang partisipasi publik.
Dalam konteks Indonesia, Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 menjadi panggung nyata di mana ancaman-ancaman ini dapat dirasakan. Kasus-kasus yang muncul dewasa ini, seperti Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 Tahun 20243terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, menimbulkan polemik luas di masyarakat. Selain itu, pergerakan elemen masyarakat secara besar-besaran melalui hashtag #PeringatanDarurat untuk mengawal putusan MK lain terkait ambang batas pencalonan dan batas usia pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah juga mencerminkan keresahan publik terhadap kebijakan yang dianggap mengurangi aksesibilitas demokrasi oleh DPR RI yang constitutional disobedience dan seolah-olah mengabaikan aspirasi rakyat dalam menindaklanjuti revisi UU Pilkada.
Melalui tulisan ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana pembelajaran dari How Democracies Die dapat menjadi landasan strategis untuk menjaga agar demokrasi Indonesia tetap kokoh, meskipun di tengah dinamika dan tantangan besar seperti Pemilu dan Pilkada Serentak 2024.
AUTOCRATIC LEGALISM DALAM PEMBELOKAN DEMOKRASI
Salah satu pembelajaran penting yang diajukan oleh Levitsky dan Ziblatt dalam buku How Democracies Die adalah fenomena autocratic legalism, yang merujuk pada praktik di mana pemimpin politik menggunakan instrumen hukum dan prosedur yang sah untuk membatasi ruang demokrasi. Dalam konteks ini, pemimpin atau rezim yang berkuasa tidak perlu melanggar hukum secara eksplisit, melainkan dapat memanfaatkan sistem hukum untuk memperkuat kendali mereka, mengurangi ruang bagi oposisi, dan menghambat kebebasan politik. Istilah ini menggambarkan bagaimana kekuasaan yang sah bisa disalahgunakan untuk mengekalkan dominasi politik, meskipun proses dan prosedurnya tetap legal dan terkesan sah di mata hukum.
Autocratic legalism sering kali tidak tampak sebagai ancaman yang jelas atau terbuka, namun dampaknya jauh lebih merusak karena secara perlahan mengikis prinsip-prinsip dasar demokrasi. Dalam konteks Indonesia, fenomena ini bisa dilihat dalam penggunaan undang-undang dan kebijakan yang dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek, yang pada akhirnya merugikan ruang demokrasi dan kebebasan politik.