Lihat ke Halaman Asli

Moh. Haris Lesmana (Alesmana)

Alumni Konsentrasi Hukum Tata Negara FHUB

Demokrasi Kerakyatan dan Pandangan Politik Sutan Sjahrir

Diperbarui: 16 Oktober 2022   15:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koleksi Pribadi

Sila Keempat Pancasila, merupakan doktrin mengenai hidup bernegara, yakni: Kerakyatan! Artinya, poros penyelenggara negara, adalah rakyat dan kepentingannya.

Kita boleh menyebut "kerakyatan" tersebut sebagai demokrasi. Tetapi demokrasi di sini, adalah demokrasi "bagi kehidupan bersama bangsa Indonesia". Suatu demokrasi/kerakyatan yang tidak terpisahkan dari "mimpi Indonesia": Indonesia yang kian kokoh menjadi sebuah rumah bagi semua penghuninya, yang ingin hidup damai, tenteram, dan sejahtera di dalamnya.

Dalam konteks itu, frasa Sila Keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan), menjadi begitu penting. Hikmat dan kebijaksanaan, adalah "jalan kearifan" yang disiapkan Pancasila dalam mengelola kekuasaan bagi kokohnya "rumah Indonesia".

Dalam demokrasi yang berbasis kerakyatan, tidak diijinkan model-model "demokrasi angka" dan juga tidak diperbolehkan hadirnya "demokrasi lalat". "Demokrasi angka" ditolak karena yang dipentingkan bukan mayoritas-minoritas, tetapi keseluruhan rakyat. Demikian juga, "demokrasi lalat" ditolak, karena yang dipentingkan adalah hikmat dan kebijaksanaan, bukan hal-hal busuk di mana lalat suka berkumpul.

Demokrasi adu angka, hasilnya bukanlah pemerintahan dari seluruh rakyat, oleh seluruh rakyat, dan untuk seluruh rakyat melainkan pemerintahan dari segolongan rakyat yang satu untuk segolongan rakyat yang lain, dan oleh segolongan rakyat atas segolongan yang lain (pemerintahan oleh satu-dua golongan atas seluruh suku-suku bangsa Indonesia yang lainnya).

Dominasi golongan, memperoleh lahan subur dalam sistem demokrasi angka. Karena dalam demokrasi adu angka, jumlah mayoritaslah yang menentukan, maka mudah dibayangkan angka yang terbanyak (suku, golongan, keyakinan/agama), berpeluang menentukan kekuasaan politik dalam arti yang sesungguhnya.

Oleh karenanya titik simpul dari persoalan ini adalah pada keputusan-keputusan menyangkut hidup bernegara haruslah merakyat, dalam arti harus merupakan hasil persetujuan dan berisi kehendak/kepentingan rakyat seluruhnya. Sebuah keputusan tidak boleh hanya representasi kepentingan golongan tertentu atau kelompok tertentu.

Itulah sebabnya, politik yang dikehendaki untuk merawat "rumah Indonesia", bukan sekedar kunst des moeglichen (seni memanfaatkan berbagai kemungkinan) versi Otto Von Bismarck. Atau bukan sekedar seni mempertaruhkan kemungkinan untuk merebut kemungkinan yang lebih besar seperti dalam ilmu politik.

Lebih dari itu, "rumah Indonesia" butuh politik yang "bersubstansi kehidupan" seperti yang dimaksud Friedrich Scheller dan Sutan Sjahrir. Yaitu, politik sebagai "kehidupan yang dipertaruhkan" untuk memenangkan kehidupan itu sendiri.

Kehidupan atau eksistensi "rumah Indonesia"-lah, dan itu berarti, kehidupan kitalah, yang dipertaruhkan dalam politik bernegara. Dari sudut itu, jelas bahwa, pengelolaan hidup bernegara, harus diarahkan atau diproyeksikan untuk memenangkan tegaknya "rumah Indonesia" yang damai, tenteram, dan sejahtera.

Kembali pada politik versi Sjahrir yang mana beliau memahami politik dengan lebih susbtantif dan indah. Dalam dua pucuk suratnya yang ditulis dari penjara Cipinang dan dari tempat pembuangan di Boven Digoel, Sjahrir mengutip speenggal sajak penyair Jerman Friedrich Schiller. Dalam teks aslinya kutipan itu berbunyi: und setzt ihr nicht das Lebern ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein (hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline