[caption id="attachment_155528" align="alignleft" width="300" caption="Gambar diambil dari: dependentongadgets.wordpress.com"][/caption] Dulu, ruangan ini penuh sesak. Selalu penuh sesak. Tapi itu dulu, sebelum semua berubah. Sebelum Mas Harsja pergi, sebelum Bapak sibuk, sebelum Timo mati kelindes motor, sebelum ibu ditaksir Pak Jana, tukang bata sebelah rumah.
Mas Harsja pergi dengan pacarnya, tinggal berdua padahal belum menikah. Bapak sempat kalap dan hampir membunuh pacar mas Harsja kalau saja tidak dilerai tetangga.
"Ada-ada saja. Pacaran kok ya sama Joni. Kaya udah ndak ada perempuan saja."
Aku diam, ibu juga diam, cuma Bapak yang misuh-misuh. Timo ketiduran di kursi waktu itu.
Entah apa sebabnya Bapak mulai jarang pulang ke rumah. Yang aku tahu kemudian Bapak dan Ibu mulai jarang bicara. Ibu sepertinya kangen Mas harsja. Tiap kali telpon berdering, ibu tergopoh-gopoh.
"Pasti dari Harsja." Begitu selalu kilah ibu. "Bukan Harsja." Gagang telpon diletakkan begitu saja. Kadang tergantung, kadang malah ditutup. Tapi aku tak berani protes, Timo melarang.
Mulanya, aku pikir ibu hanya kangen Mas harsja saja makanya selalu mengangkat telpon jadi ritual wajib. Tapi makin hari, ibu makin aneh. Ibu mulai suka menekan-nekan nomor telpon sembarangan, acak-acakan. Banyak yang tersambung.
"Halo, siapa namamu?"
"Saya mencari Harsja. Halo, halo, halo, siapa namamu?"
Sudah berulang kali kukatakan, ada waktunya Mas Harsja pulang. Tapi ibu tak terima, Timo hampir mati dicekiknya. Sial!
Keesokan hari, aku dijemput Pak Jana ke sekolah. Langkahnya panjang menggamit lenganku, aku berjalan tersaruk-saruk. Ada apa ini? Di beranda kulihat ayah menenteng koper besar. Ibu mematung memeluk Timo. "Kamu mau ikut atau inggal di sini? Hah!"