Lihat ke Halaman Asli

Kramat!

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sudah lima hari Paman tak *menderes. Mendemam berkeringat seharian, ada biru lebam di lengan kirinya. Kata orang-orang Paman baru saja ditegur penunggu tempat yang dilewatinya. Sudah berkali ganti tabib tak kunjung sembuh juga, kami kemenakannya bergilir merawat Paman.

Paman tak punya anak, sungai menguap sewaktu Mak Cik mendulang pasir, menggulung tubuh kurusnya lalu mendamparkan nyawanya pada belukar bibir sungai. Meninggal.

__________

"Hei, ku dengar Pakcik engkau sakit?" Aku hanya mengangguk.

"Kenapa? Apa dah jadi?" Kuhentikan langkah, sepagi ini aku tak ingin diganggu. Kepalaku masih pusing kebanyakan mengunyah pinang untuk obat Paman.

"Aku dengar, Pakcik engkau *tersapo? Nape tak dibawa ke Datok yang berumah di ujung kampung tu? Dia kan sakti. Cubalah!" Naik darahku, akhirnya.

"He, engkau ni bising je lah! Dah pun dibawa ke sana, tak mempan. Jadi, engkau diamlah. Tak payah nak menyibuk urusan orang!"

Mampus! Biar lah di hirup nafasku yang berbau sirih ini. Aku pastikan dia terkejut melihat sikap kasarku. Tapi, lidah ku yang terbakar panas dari mengunyah sirih ikut berandil menyulut emosi.

Kisah Paman yang tertegur penunggu pohon karet agaknya sudah tersebar hingga kekampung lain.

____________

Telah banyak tahun kulewati, benar saja, banyak yang berubah. Kampung kami yang dulu desa seperti telah disulap oleh kekuatan maha dahsyat. Kini sudah ada taman berlampu menyala saban petang, menjelang sore banyak anak-anak berkejaran bermain bola. Aku tersenyum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline