Lihat ke Halaman Asli

Lelaki Pesisir Kampung Nelayan

Diperbarui: 26 Juni 2015   11:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sudah berhitung menit aku amati, benar dugaan ku bahwa dia berjari enam ditangan kiri.

"Tak perlu heran, yang seperti  ini sudah biasa." sambarnya menjawab tanya dalam kepalaku. Sontak aku terhenti mengambil gambar dirinya. Tengkukku meremang, tegang. Tak tahu harus berbuat apa, senyumpun tak cukup menutupi ketegangan antara kami. Dari situlah bermula aku mengenalnya.

Entah karena pesisir pantai ini semacam tempat berlabuh perahu nelayan atau memang kebetulan saja, sepagi ini aku berpapasan lagi dengan dia. Sayang, dia tak menoleh padaku. Segera lenyap senyum yang tadi aku siapkan namun tak berbalas. Aku sedikit kikuk.

Dia berjalan terus, menunduk memanggul jala dipundak. Fikiranku melayang pada siaran di televisi tentang lelaki penakhluk ombak. Sebuah himbauan untuk menjadi nelayan, buatan pemerintah berkedok iklan layanan masyarakat.

_______________

Sedang aku asik memandangi anak kecil berpacu sampan di tengah laut nun disana, tertangkap sosok bayang dekat kakiku, ternyata dia. Kami lalu beradu pandang. Perasaan itu muncul kembali, rasa gugup rikuh yang  menelikung. Kurasa dia pun tak beda denganku. Nampak dari tingakahnya yang segera menjauh begitu saja.

Sepagian tadi hujan turun sesekali guntur, menjelang petang matahari merona jingga kemerahan. Semburat pelangi tersamar dibalik kemilau senja. Disatu perahu yang bersandar di tepian pantai, lelaki itu duduk berjulur kaki. Meski perahu oleng kanan, tetap tak mempengaruhi kenyamanannya.

Samar kudengar dari tempat ia berada bunyi harmonika menyayat perasaan. Kutebak  sebuah lagu patah hati dibalut irama sendu. Mendengarnya, timbul semacam pilu yang mendalam. Nadanya teratur syahdu tapi juga merisaukan. Hingga suara itu berhenti, aku masih terlarut dalam sisa dengungan di kepala.

Begitu menyadari kehadiranku, dia beranjak pergi. Menyambar jala dan kadangan karung plastiknya.

_________________

Dua hari menjelang hari terakhir singgah, kuberani-beranikan mendekati dia. Kini kami saling berhadapan. Sekilas setelah menoleh padaku, dilanjutkannya lagi mendempul perahu itu. Perhatiannya tak juga beralih padaku, dengan sigap kusambar tangannya. Kugenggam kuat sekali, nyata ada perlawanan di sana. Tapi, aku harus lebih kuat. Agar dia merasakan hangat tanganku mengalir hingga darahnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline