[CATATAN: Tulisan ini masih akan mengalami modifikasi dan revisi di sana sini meski sudah tayang.]
Saat saya mengerjakan tulisan saya berjudul "Jokowi Pasti Kalah di 2019 Jika..." (bisa dibaca di sini) [1], saya menyadari bahwa masih banyak pelajaran yang bisa dipanen dari data-data referensi yang saya gunakan. Jika semuanya dituliskan dalam satu artikel, maka akan jadi terlalu panjang dan kurang nyaman untuk pembaca Kompasiana. Durasi baca artikel tadi saja menurut Kompasiana adalah 11 menit. Saya sudah berencana menulis satu ata dua artikel lagi tentang hal-hal penting yang belum dituliskan. Namun sebelum saya menuliskannya, seorang Kompasianer bernama Shalahuddin Ahmad (SA) sudah membuat sebuah tulisan untuk menanggapi artikel saya itu, berjudul "Mencari Makna Radikal di Tulisan Mauritz Panggabean" yang bisa dibaca di sini [2]. Saya senang atas tanggapan ini sebab ia mengkonfirmasi bahwa ada dari hal-hal yang belum saya tuliskan itu memang perlu dan penting dijelaskan.
Dalam tulisannya, sesuai capture per tanggal 18 Mei 2017 pukul 21.39 CET, SA menulis sebagai berikut:
"Pemilih non muslim bergerombol semua memilih Jokowi Ahok, artinya faktor agama NON-MUSLIM SIGNIFIKAN MENENTUKAN PREFERENSI PEMILIH. ... Justru pemilih non muslim amat radikal dan menjadikan agama sebagai faktor dominan untuk menentukan pilihan. Jadi jika radikal dialamatkan ke pemilih muslim yang secara implisit dinyatakan MP yang menghawatirkan berpindahnya pemilih merah ke biru maka MP telah mengambil kesimpulan yang salah."
Data referensi memang menunjukkan bahwa persentase pemilih non-Islam di kubu merah di Pilgub DKI 2012 Putaran II, Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017 Putaran II (untuk singkatnya saya sebut dengan 2012, 2014, dan 2017) cukup stabil, yaitu 14.1% di 2017, 11.0% di 2014, dan 13.4% di 2012. Ini juga ditunjukkan oleh rekapitulasi persentase di Gambar 1. Dengan fokus hanya pada data 2012 dan 2017, SA lalu mengartikan persentase yang stabil ini dengan simpulan bahwa pemilih non-Islam-lah yang amat radikal dengan menjadikan agama sebagai faktor dominan untuk menentukan pilihan. Saya memahami kata 'dominan' sebagai yang pertama dan utama. Terbaginya pemilih Islam di antara kubu merah dan kubu biru di 2012, 2014 dan 2017 dijadikan dasar oleh SA untuk membantah bahwa pemilih Islam adalah radikal, yaitu sesuai katanya sendiri tadi dicirikan dengan memilih pemimpin pertama dan utama atas dasar kesamaan agama. Apakah simpulan SA itu benar?
Gambar 1. Dari dalam ke luar: Rekapitulasi persentase pemilih di Pilgub DKI 2012, Jakarta Pilpres 2014, dan Pilgub DKI Jakarta 2017 [1]
Tulisan ini salah satunya bertujuan untuk menanggapi pernyataan SA itu. Saya tahu sangat sedikit tentang agama-agama lain yang non-Islam kecuali Kristen yang saya anut. Perlu saya tekankan bahwa saya memandang dan menghidupi iman Kristen bukan pertama dan utama sebagai agama, namun sebagai relasi personal dengan Yesus Kristus Tuhanku yang hidup, bukan nun jauh di kerajaan surga saja, namun juga dalam hidup dan rohku setiap saat. Ini akan makin jelas di bawah. Sebab itu saya memberi tulisan ini judul "Benarkah Orang Kristen Memilih Pemimpin Terutama Karena Kesamaan Agama?" Judul itu bisa dimaknai jadi pertanyaan lipat dua berikut yang akan saya jawab lewat tulisan ini.
- Apakah memang benar orang Kristen memilih pemimpin (khususnya pemimpin politik) pertama dan utama karena kesamaan agama?
- Apakah memilih pemimpin (khususnya pemimpin politik) pertama dan utama karena kesamaan agama itu benar sesuai ajaran Kristen?
Pertanyaan 1 sesuai dengan pernyataan SA di atas, dan ia dilengkapi dengan pertanyaan 2 sehingga komprehensif. Saya akan coba jawab pertanyaan 1 dengan menggunakan analisis kuantitatif berdasarkan data-data relevan dan valid yang dapat saya akses. Referensi [3] memberikan data jawaban responden tentang apa alasan utama mereka memilih paslon antara Ahok-Djarot dan Anies-Sandiaga. Ada 798 responden yang berhasil diwawancarai dengan response rate 99.75% Data ini sebenarnya sudah dibahas di artikel berjudul "Faktor Agama Menentukan Kemenangan Anies-Sandiaga" di sini [4]. Datanya juga telah ditampilkan dalam infografis, namun saya pikir analisisnya masih bisa dikembangkan dan diperkaya, juga dibuat lebih mudah untuk disimak pembaca.
Dari seluruh responden ada 34.3% memilih Ahok-Djarot, 50.7% Anies-Sandiaga, dan 15% tidak jelas. Dengan mengesampingkan 15% yang tidak jelas, maka ada 40.4% pemilih Ahok-Djarot dan 59.6% pemilih Anies-Sandiaga sehingga total 100%. Persentase responden menurut alasan per paslon menjadi dasar analisis saya, dan angka basis saya hitung ulang dengan persentase baru tadi dan saya labeli 'Basis MP' supaya lebih konsisten. Basis maksudnya adalah relatif terhadap seluruh responden. Sebagai contoh, di Tabel 1 yang mengurutkan alasan menurut Basis MP, ada 2% dari responden pemilih Ahok-Djarot yang memilih mereka terutama karena kesamaan agama. Untuk alasan yang sama di kubu Anies-Sandiaga ada 57%. Angka 2% dari 100% ini adalah 0.8% dari 40.4% di atas. Demikian juga 57% dari 100% ekivalen dengan 34.0% dari 59.6%. Basis MP untuk alasan tersebut adalah 0.8% + 34.0% = 34.8%. Lalu angka 2% dan 57% tadi ekivalen dengan 2.3% dan 97.3% dari Basis MP nya yaitu 34.8%. Semoga bisa mudah dipahami.
Tabel 1. Alasan Memilih Paslon di Pilgub DKI 2017 Putaran II Diurutkan Menurut Basis (MP)
Jika data diurutkan berdasarkan Basis MP seperti di Tabel 1, maka relatif terhadap seluruh responden yang memberitahukan pilihannya, kesamaan agama menjadi alasan nomor 1 dalam memilih pemimpin dengan 34.8% responden. Rangking alasan selanjutnya pembaca bisa lihat sendiri di Tabel 1. Tabel 2 menampilkan data yang diurutkan berdasarkan jawaban pemilih Ahok-Djarot. Tiga alasan teratas dalam memilih pemimpin menurut pemilih Ahok-Djarot yaitu:
- Sudah ada bukti nyata hasil kerjanya (portfolio karya)
- Berpengalaman di pemerintahan (rentang pengalaman yang relevan)
- Orangnya jujur/bersih dari praktik KKN (integritas)
Nomor berapakah alasan agama bagi pemilih Ahok-Djarot? Jauh di nomor 9 yang dijawab hanya 2% pemilih mereka! Seperti ditunjukkan oleh Tabel 3, pemilih Ahok-Djarot terdiri dari 66% Islam dan 34% non-Islam. Yang 34% non-Islam itu adalah 96% dari seluruh responden, sementara 66% Islam ekivalen dengan 32%. Data ini terang benderang menjawab TIDAK untuk pertanyaan 1 di atas. Jadi secara umum pemilih non-Islam sama sekali tidak memilih pemimpin atas kesamaan agama sebagai faktor utama dan pertama. Dengan demikian pernyataan SA di atas TERBANTAHKAN. SA, dan siapapun orang yang berpikiran demikian tentang pemilih non-Islam Indonesia, keliru besar! Karena itu tolong berhentilah menuding pemilih non-Islam seperti itu. Ini bukti pertama untuk jawaban tadi. Setidaknya masih ada dua bukti lagi untuk membantah tudingan SA atas pemilih non-Islam.
Tabel 2. Alasan memilih paslon di Pilgub DKI 2017 Putaran II diurutkan menurut pemilih Ahok-Djarot