Lihat ke Halaman Asli

Pangestu Adika Putra

Pekerja Visual

Optimisme Kurikulum Merdeka di Tangan Sang Akademisi

Diperbarui: 26 Oktober 2024   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia memiliki sejarah panjang dalam perubahan kurikulum pendidikan yang sering kali terpengaruh oleh dinamika politik.Tidak jarang kita mendengar gurauan bahwa "Presiden baru, kurikulum baru."

Pergantian kebijakan pendidikan ini telah menjadi tradisi yang tak terhindarkan, terkadang membuat sistem pendidikan nasional seolah menjadi proyek eksperimental yang tak kunjung menemukan bentuk finalnya.

Akibatnya, kurikulum yang baru saja diperkenalkan belum sempat sepenuhnya diimplementasikan, namun sudah harus digantikan lagi oleh kebijakan baru.

Pemerintahan Prabowo-Gibran menghadirkan langkah besar dengan memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian terpisah.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah di bawah Prof. Dr. Abdul Mu'ti, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi yang dipimpin oleh Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, dan Kementerian Kebudayaan yang dipimpin oleh Fadli Zon.

Kemendikbudristek Dipecah menjadi tiga kementerian membawa banyak spekulasi, terutama soal nasib Kurikulum Merdeka, yang baru diimplementasikan pada Maret 2024 lalu.

Kurikulum Merdeka, Lompatan Besar atau problem yang tak kunjung kelar?

Kurikulum Merdeka diperkenalkan dengan tujuan membawa perubahan besar pada sistem pendidikan Indonesia. Dibangun dengan filosofi kebebasan bagi peserta didik dan pengajar, kurikulum ini berusaha mengubah pendekatan tradisional yang cenderung kaku dan berbasis tekstual.

Kurikulum Merdeka fokus untuk mendorong anak didik untuk lebih berpikir kritis, mandiri, dan belajar sesuai minat mereka, bukan sekadar mengejar nilai ujian.

Dalam perjalanannya, implementasi Kurikulum Merdeka masih menghadapi berbagai tantangan. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah, banyak sekolah yang masih menyesuaikan diri dengan pendekatan baru ini. Guru-guru yang terbiasa dengan kurikulum terstruktur kini harus lebih kreatif dan fleksibel dalam mengarahkan siswa.

Konsep ini memang menarik, tetapi di lapangan, masih ada kebingungan, terutama di daerah-daerah yang minim fasilitas pendukung, seperti akses teknologi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline