Di tengah hiruk pikuk perpolitikan Indonesia, ada fenomena yang makin hari makin aneh: partai politik makin doyan mengusung sosok-sosok "populer" untuk maju sebagai calon pemimpin daerah.Terbaru sebuah Partai politik dan teman-temannya mengusung Marshel Widianto sebagai calon wakil wali kota Tangerang Selatan. Hal ini kemudian menjadi bahan pembicaraan publik, tentu pro dan kontra, tapi kali ini kontranya lebih banyak.
Kalau bukan seorang komika, Marshel Widianto bukan siapa-siapa. Tidak bermaksud merendahkan Marshel, tapi lebih kepada fakta bahwa kita tidak mengenal sosok Marshel sebagai orang yang punya track record organisasi maupun politik selain hanya seorang komika yang bahkan kita tidak pernah tau prespektifnya tentang pembangunan indonesia.
Beberapa kali di berbagai podcast di youtube dia sendiri mengisahkan masa lalunya, mulai dari mantan antar jemput PSK hingga kurir narkoba. Yang masih nempel diingatan kita adalah keputusannya membeli koleksi video dari seorang kreator OnlyFans, Dea. Entah seperti apa videonya, saya juga penasaran.
Fenomena parpol yang doyan dengan orang-orang populer ini membuat kita semua bertanya-tanya, apakah partai politik kita sedang krisis kader? Kok, untuk keperluan elektoral saja harus mengandalkan sosok yang "populer" sekalipun penuh kontroversi. Ini semakin mengonfirmasi bahwa parpol di Indonesia hanya butuh suara melalui popularitas calon saja tanpa peduli track recordnya.
Ironis sekali, negara besar dengan banyak orang pintar, tapi akan diwakili oleh sosok yang kontroversial. Apakah ini cerminan masyarakat kita yang katanya rata-rata IQ-nya hanya 78,49? semoga saja tidak.
Kesannya mirip dengan agen talent show, parpol mencari siapa saja yang bisa menarik perhatian, tanpa peduli kualitas. Yang penting banyak sorak-sorak dan menang apapun caranya.
Secara tidak langsung ini jelas mengesampingkan sekaligus mendowngrade kualitas masyarakat kita. Politik jadi tontonan komedi, padahal harusnya kan serius, ini soal masa depan kita yang jadi taruhan.
Bayangkan kalau orang-orang seperti Marshel jadi pemimpin kita, bisa jadi pertemuan-pertemuan penting diwarnai dengan jokes-jokes, "menyala abangkuh", rapat-rapat penting jadi ajang pertunjukkan stand-up comedy, bukannya fokus membangun sumberdaya, infrastruktur atau pendidikan malah sibuk lucu-lucuan.
Mungkin ini memang strategi parpol untuk menarik perhatian generasi milenial dan Gen Z yang lebih suka hal-hal ringan dan entertain. Tapi, mbok ya jangan begitu juga, masa mau mengorbankan kualitas pemimpin hanya demi suara. Kita butuh pemimpin yang paham masalah rakyat, punya solusi nyata, bukan hanya bisa bikin ketawa.
Marshel memang pernah bilang kalau dia bisa belajar. Iya sih, tapi belajar jadi pemimpin itu butuh waktu, dedikasi, dan pengalaman. Belajar mimpin itu bukan seperti belajar bikin kue yang kalau gagal bisa diulang lagi sampai jadi enak. Ini urusan masa depan banyak orang, urusan hidup-mati, kesejahteraan, dan kemakmuran masyarakat.
Masyarakat butuh perubahan sekarang, bukan nanti. Mereka butuh pemimpin yang siap bekerja dari hari pertama, bukan yang masih harus adaptasi dan belajar dari nol. Masalah di masyarakat banyak dan kompleks, dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga infrastruktur. Semua butuh perhatian dan solusi segera. Kita nggak punya waktu untuk menunggu seorang pemimpin yang masih harus belajar dan adaptasi. Ini bukan soal meragukan kapasitas proses belajarnya, tapi ini soal kesiapan untuk memimpin dari hari pertama menjabat.