Lihat ke Halaman Asli

pangeran toba hasibuan

jadilah seperti akar meski tidak terlihat, tetap tulus menguatkan batang dan menghidupi daun, bunga atau buah termasuk dirinya sendiri

Erosi Rasa Kepercayaan

Diperbarui: 29 Maret 2023   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Panas setahun dihapus hujan sehari. Demikian perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan peristiwa dan pemberitaan belakangan ini.

Pencapaian Indonesia pada beberapa bidang termasuk keberhasilan penyelenggaraan  KTT di Bali pada Nopember 2022 saat sebagai pemimpin G20 seakan sirna seiring peristiwa yang terungkap belakangan ini dan sangat menciderai rasa kepercayaan publik. 

Sejak pertengahan tahun 2022 sampai memasuki bulan ketiga tahun 2023 publik disuguhi berbagai petaka yang terkuak secara beruntun yang sangat mengagetkan, memalukan sekaligus menjadi catatan kelam bagi  institusi negara. Ini semua semakin mengonfirmasi bahwa negara sedang tidak baik-baik saja. 

Awal tahun ini perhatian publik sudah tersita dengan pemberitaan sidang pengadilan oknum jenderal polisi bintang dua yang menjabat sebagai polisinya polisi terlibat kasus pembunuhan berencana terhadap anggota polisi yang sekaligus ajudan jenderal tersebut. Persidangan ini menjadi berita utama semua media setiap hari, baik cetak, elektronik maupun media online sampai vonis diputuskan kepada terdakwa. 

Menjelang akhir tahun 2022 di saat kasus pembubuhan tersebut dalam tahap penyidikan, kembali terkuak peristiwa yang mencoreng citra kepolisian. Seorang jenderal bintang dua yang menjabat sebagai kapolda ditangkap karena terlibat kasus narkoba jenis sabu. Sebagian barang bukti sabu yang seharusnya dimusnahkan malah diperjualbelikan. Kasus ini seakan menjawab rasa penasaran publik bahwa tidak heran mengapa selama ini peredaran narkoba sulit diberantas.

Kedua kasus tersebut termasuk tragedi Kanjuruhan membuat rasa kepercayaan publik terhadap kepolisian semakin merosot. 

Belum selesai persidangan tersebut muncul kasus lain, penganiayaan yang memicu terbongkarnya perilaku buruk oknum pejabat Ditjen Pajak eselon III yang memiliki kekayaan mencapai Rp 56 milyar yang perolehannya diduga dengan cara ilegal. Hal ini mengingatkan kembali kejadian pada pertengahan 2010, saat seorang Gayus Tambunan pegawai pajak yang memiliki rekening fantastis, mencapai Rp 28 milyar.

Tidak berhenti di situ saja seorang pegawai Direktorat Bea dan Cukai yang kerap menunjukkan gaya hidup mewah diketahui memiliki harta kekayaan mencapai puluhan milyar yang juga diduga diperoleh dengan tidak wajar. Belum lagi tranksaksi mencurigakan yang ditemukan PPATK di Kementerian Keuangan yang mencapai ratusan triliun rupiah! Sangat kuat keyakinan publik bahwa kejadian tersebut ibarat puncak gunung es.

Ada rasa miris melihat perilaku oknum pejabat negara tersebut. Saat masyarakat dalam situasi kesulitan perekonomian karena harga kebutuhan pokok meningkat, pejabat yang seharusnya sebagai panutan justru pamer kemewahan dan kekuasaan. Publik bereaksi, banyak komentar miring maupun sindiran dari  pengguna media sosial (netizen) terhadap institusi yang memiliki slogan 'orang bijak taat pajak'. Ada yang mengatakan 'orang yang bayar pajak jangan dipijak' bahkan sampai mengajak 'stop bayar pajak'. 

Meski respon dan tindakan cepat sudah dilakukan oleh pimpinan lembaga, tetapi masih menyisakan pertanyaan bagi publik, bagaimana fungsi pengawasan internal selama ini?. Terbukti bahwa renumerasi yang tinggi bukanlah solusi untuk tidak korupsi. 

Peristiwa tersebut harus disikapi dengan langkah perbaikan yang konkrit untuk memulihkan rasa kepercayaan publik, tidak cukup hanya menyampaikan pernyataan normatif bahwa kejadian ini harus menjadi pelajaran dan akan diambil langkah perbaikan.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline