Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yang berperan sebagai perwakilan rakyat. Dalam tugasnya DPR menampung dan mewujudkan aspirasi yang berkembang maupun permasalahan yang dihadapi masyarakat melalui fungsi legislasi sehingga tercipta tatanan masyarakat yang tertib, aman, nyaman dan adanya jaminan pemenuhan hak-hak masyarakat yang kesemuanya itu bermuara pada kemaslahatan rakyat.
DPR bersama dengan Pemerintah sebagai penyelenggara negara juga mempunyai kewenangan inisiatif dalam membuat RUU untuk dibahas bersama sebagai bentuk kepedulian terhadap permasalahan yang sedang dihadapi negara dan yang dibutuhkan masyarakat. Dalam hal ini DPR dan Pemerintah harus memiliki rasa kepedulian dan keberpihakan kepada rakyat, RUU mana yang lebih mendesak untuk dilakukan pembahasan.
Sebagaimana diketahui, belakangan ini banyak terjadi pelecehan seksual di berbagai tempat terhadap kaum perempuan dan anak-anak, kaum yang seharusnya dilindungi. Terlebih lagi pelakunya adalah orang-orang yang seharusnya mengayomi, menjadi panutan dan contoh di masyarakat seperti guru, dosen, polisi bahkan ulama yang nota bene juga pemimpin lembaga pendidikan berbasis agama. Nilai-nilai moral, keagamaan, kemanusiaan, kesopanan dan etika yang selalu kita junjung tinggi selama ini sebagai bangsa yang beradab semakin luntur, dekadensi moral semakin terasa.
Rakyat mengharapkan jaminan keamanan dari negara dan korban harus mendapat perlindungan dan keadilan. Pelaku harus diganjar hukuman yang menjerakan.
Namun, harapan itu terasa jauh, persetujuan RUU Tindak Pidana Kekerasan terkesan lambat. Belum terlihat kepedulian DPR terhadap korban kekerasan seksual.
Di sisi lain, rakyat juga tidak habis pikir, di tengah persoalan korupsi yang tetap marak, ternyata RUU Perampasan Aset (RUU PA) juga tertunda masuk Program Legislasi Nasional, dengan alasan pemerintah dan DPR harus menyelesaikan beberapa RUU yang dianggap lebih medesak. Padahal RUU ini telah selesai diinisiasi oleh PPATK sejak 2008 dan tuntas disusun 2012, namun selalu kalah bersaing dengan RUU lain. DPR dan Pemerintah seolah saling lempar bola. RUU PA ini diharapkan sebagai salah satu senjata untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Masih lekat dalam ingatan bagaimana revisi UU KPK demikian cepat dibahas padahal banyak penolakan dari masyarakat saat itu. Rasanya tidak ada penolakan publik untuk kedua RUU ini karena memang demi kepentingan rakyat dan negara. Bukankah kekerasan seksual dan korupsi secara langsung merusak kehidupan masa depan rakyat dan bangsa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H