Lihat ke Halaman Asli

pangeran toba hasibuan

jadilah seperti akar meski tidak terlihat, tetap tulus menguatkan batang dan menghidupi daun, bunga atau buah termasuk dirinya sendiri

Perlu Terobosan Pemberantasan Korupsi

Diperbarui: 16 Desember 2021   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 Tidak banyak yang mengetahui bahwa tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Peringatan Hakordia dilaksanakan setiap tahun tapi selalu menyisakan pertanyaan mengapa persoalan pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak pernah tuntas.  Pada peringatan Hakordia tahun 2020 yang juga dihadiri Presiden Joko Widodo, KPK sudah mencanangkan Aksi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi 2021-2022.

Sejak kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 18 tahun yang lalu banyak agenda dan langkah yang sudah dilakukan KPK namun sampai sekarang korupsi tetap marak dan semakin berani apalagi dilakukan pada masa pandemi Covid-19. Korupsi terus berulang dengan modus yang relatif sama. Ketua KPK pernah mengatakan bahwa pejabat kita lemah dalam integritas.

 Selama tahun 2021 saja tidak sedikit kepala daerah, menteri, anggota DPR, pejabat negara lainnya maupun pihak swasta yang ditangkap KPK dengan beragam kasus mulai dari suap proyek infrastruktur, jual beli jabatan dan mutasi, pengadaan barang dan jasa, dana hibah dan perijinan perkebunan. Yang lebih mengenaskan lagi kasus korupsi melibatkan bapak -- anak, suami-isteri yang kebetulan sebagai pejabat negara. Sehingga tidak salah anggapan masyarakat yang mengatakan dengan masa kerja 18 tahun tapi korupsi semakin berani, ini menunjukkan ketidakberhasilan KPK dalam memberantas korupsi. Tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya, justru dengan kehadiran KPK banyak koruptor yang berhasil ditangkap.

Lembaga Transparency International Indonesia (LTII) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun  2020 berada di angka 37 pada skala 0 -- 100 (skor 0 sangat korup dan skor 100 sangat bersih) dengan ranking 102 dari 180 negara.  Hasil ini seharusnya bisa digunakan sebagai rujukan dalam mengambil langkah perbaikan, karena sampai saat ini kita memang belum memiliki standar maupun tolok ukur untuk mengetahui sejauh mana kita berhasil mencegah dan memberantas korupsi.

Jika dikatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa dan harus diberantas maka pola penanganan juga harus luar biasa. Pola penanganan Covid-19 bisa menjadi contoh untuk diterapkan. Semua mengetahui bagaimana negara kita di awal masa pandemi terlihat gamang dalam penanganan pandemi Covid-19 yang menerpa semua sendi-sendi  kehidupan kita. Tetapi dengan konsisten pemerintah menerapkan berbagai aturan dengan target terukur secara terpadu mulai dari tingkat pusat sampai daerah.  Langkah evaluasi dan koreksi dilakukan secara berkala. Akhirnya kita bisa mengendalikan laju penularan Covid-19 karena fokus pada sasaran (target).

Selama ini KPK terkesan berjalan sendiri dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Seharusnya semua elemen bangsa termasuk publik harus terlibat dan satu pemahaman bahwa korupsi adalah musuh bersama. Tanpa kita sadari perilaku koruptif sebenarnya sudah dimulai dari lingkungan terkecil, keluarga. Adalah hal yang kita anggap biasa jika  anak  meminta imbalan saat dimintai orang tua untuk melakukan sesuatu. Selain itu sikap masyarakat yang permisif semakin mendukung korupsi tetap berlangsung, pemberian tip agar suatu urusan cepat selesai adalah contoh lain.

Kita juga kerap mendengar pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di kalangan pejabat kepala daerah terjadi karena biaya politik mahal, pejabat terpilih harus mengembalikan modal sehingga sistem politik harus dirubah. Padahal sinyalemen itu tidak pernah terungkap dan terbukti di pengadilan. Ada juga politisi yang mengatakan adanya korupsi menunjukkan bahwa pembangunan di suatu negara berjalan atau yang mengatakan bahwa korupsi adalah 'oli' pembangunan. Bahkan yang sedang hangat sekarang, salah seorang anggota Komisi Hukum DPR mengatakan polisi, jaksa, hakim, anggota DPR atau kepala daerah semestinya tidak boleh ditangkap melalui operasi tangkap tangan karena merupakan simbol negara.

Pendapat-pendapat itu semakin membuat jalan untuk memberantas korupsi semakin panjang dan terjal karena anti korupsi masih belum menjadi budaya, korupsi belum dijadikan sebagai bahaya laten. Sebagus apapun suatu sistem jika orang yang berperan tidak menjalankan dengan baik maka hasilnya tidak akan baik.

Secara sederhana langkah pencegahan korupsi sebenarnya bisa dimulai (entry point) dengan mengajukan pertanyaan, mengapa masih ada calo dan mengapa ada masyarakat yang mau berhubungan melalui calo? Coba kita bayangkan, seandainya semua instansi pelayanan publik  menyediakan layanan cepat dan layanan biasa dengan tarif dan lama waktu penyelesaian yang berbeda secara transparan ke publik. Masyarakat bisa memilih layanan mana yang akan diambil sesuai dengan kebutuhan, jalur biasa dengan biaya lebih murah atau jalur cepat, semua biaya masuk menjadi penerimaan resmi, pasti keberadaan calo tidak dibutuhkan.

Tidak kurang banyak perangkat UU maupun lembaga yang kita miliki untuk pemberantasan korupsi. Oleh karena itu jika kita memiliki kemauan maka yang dibutuhkan adalah komitmen dan keberanian untuk melakukan terobosan dengan cara yang tidak biasa ('out the box') mulai dari hulu sampai ke hilir. Untuk tahap awal, Indeks Persepsi Korupsi dapat digunakan sebagai target (secara bertahap) sebagai tolok ukur. Apalagi jika diikuti dengan keberanian memasukkan indeks persepsi korupsi sebagai penilaian kinerja ('key performance index') bagi setiap kepala daerah maupun pimpinan lembaga mulai dari pusat sampai daerah, karena pimpinan harus bisa menjadi teladan dan panutan. Namun semua langkah itu akan  efektif jika dibarengi dengan penegakan hukum yang berkeadilan, dibutuhkan sinergitas.

Melihat masih maraknya korupsi di kalangan pejabat negara maka momentum peringatan Hakordia  menjadi penting untuk dimaknai lebih mendalam tidak sebatas seremonial dengan tema-tema normatif saja tetapi perlu dilanjutkan dengan rencana aksi yang lebih membumi.  Mungkin ke depan peringatan Hakordia perlu dijadikan agenda wajib  bagi semua lembaga mulai dari pusat sampai daerah untuk melaksanakan di masing-masing instansi agar gaung antikorupsi tetap terjaga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline