Lihat ke Halaman Asli

Pangeran Djoko

Pembelajar abadi

Saya Mulai Mencintai Corona, Anda?

Diperbarui: 10 April 2020   08:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu, saya meyakini bahwa saya pasti akan terpapar COVID-19. Tetapi, karena saya sehat dan prima, si virus hanya akan numpang lewat, bahkan tanpa saya menyadarinya.

Beberapa hari ini saya totally bedrest. Hanya rebahan dan tiduran di ranjang. Sambil main game Worms Zone. Anak saya yang ngajari. Meski game ini levelnya tingkat Balita, saya menyukainya. Karena game ini tidak menyuruh saya berpikir. Telan mentah-mentah, nikmati, dan bagikan ke semua orang. Tentang hukum yang begini ini, saya setiap hari melakoninya. Itu adalah iman pertama saya ketika bermedsos. Jadi, meski baru mengenal game cacing ini, saya langsung bisa menyesuaikannya.

Sudah seminggu ini saya menyadari ada yang kagak bener pada badan saya. Badan saya seperti roso-rosonen. Lemes lunglai. Meriang tapi tidak demam. Panas di dalam tapi dingin di luar. Beberapa hari saya sesak napas. Disertai batuk-batuk kecil. Juga ada satu hari yang rasanya saya selalu haus. Minum terus. Mungkin hari itu saya minum lebih dari 5 liter. Atau paling tidak 0.5 liter. Pokoknya banyak. Hari yang lain saya seperti diare. Pergi ke toilet dalam satu hari lebih banyak daripada jumlah saya sholat.

Karena saya tahu persis penyebab sakit saya, saya tidak memeriksakan diri ke faskes. Utamanya saat saya sesak napas. Pasti saya akan dikategorikan sebagai PDP. Lalu ditest. Dengan rapid yang dibeli tapi hasilnya tidak diakui itu. Dan dua kali swab dan diuji pakai PCR. Lalu saya akan dikurung dalam satu ruangan. Istri dan anak saya tidak boleh menjenguk. Apalagi tetangga saya yang janda muda itu. 

Saya akan dirawat selama 14 hari, hanya berteman ponsel. Sebenarnya di hari biasa pun, saya sering mengisolasi diri dari hubungan sosial, hanya berteman dengan ponsel. Sholat saja saya sering lewat WA. Saya punya nomor WA malaikat yang biasa mencatat amal. Tentu tidak akan saya tulis di sini. Tapi membayangkan 14 hari hanya berteman ponsel, saya kok belum siap ya..

Alhamdulillah, syukur Gusti, hari ini saya sudah baikan. Badan sudah bisa diajak ke kantor setelah seminggu pamit. Meski juga sedih, kok korban terpapar pandemi Corona 'baru' 3300 lebih dikit ya? Harusnya kan sudah 36000, atau 21000, atau minimal 11000. Tergantung ngitungnya pake gaya mana. Lha ini, baru 3300.

Saya menduga kalo juru bicara khusus yang menangani pandemi ini berasal dari kab. Gunungkidul. Desa Ngawis, Kec. Karangmojo. Apa hubungannya? 

Dulu, waktu saya masih sering bakti sosial, setiap saya tanya ke warga, selalu di jawab dengan ilmu skala tingkat tinggi. Saya pernah bertanya; "pakdhe, nek badhe tindak masjid, tebih mboten nggih?"(Paman, kalo mau ke masjid, jauh nggak ya?). Biasanya mereka akan menjawab. "Wah, mas ganteng, mesjid namung cerak mriku. Mboten nganti 50 Meter kok.."dan (Wah, mas ganteng, masjid hanya dekat situ. Nggak sampe 50 meter kok...).

Begitulah mereka menjawab. Dan tahukah anda, jarak 50 M itu kami tempuh dalam jangka waktu berapa menit? 5, 10, 20 atau 30 menit? Setelah saya berjalan, barulah saya tahu arti 50 M itu. Saya berangkat sholat Jum'at jam 11.15. Sampai di masjid jumatannya sudah bubar. Saya melongo. Ditambah kaki saya sakit dan badan pegel-pegel. Juga hati saya ambyar. Rasa sakitnya seperti dipukuli perawan satu kampung.

Ah, buat apa kita ngitung angka-angka? Biarkan saja..

Setelah beberapa hari merasa disandera dan disakiti habis-habisan oleh pandemi ini, kini saya merasa jatuh cinta dengan Corona. Dan mulai membenarkan apapun akibat adanya dari pandemi ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline