Lihat ke Halaman Asli

Jogja yang Ingin Istimewa Terus

Diperbarui: 26 Juni 2015   10:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Andai Pusat Pemerintahan RI adalah ibarat seorang bapak, dan 33 propinsi di Republik ini adalah anak-anaknya, maka perlakuan yang dipandang bijak secara alami adalah membiarkan anak-anaknya tumbuh secara alami dalam kerangka menuju masyarakat adil dan makmur. 'Persetan' dengan segala jargon, teori, manis kata-kata tentang demokrasi.

Heboh dan blunder antara Pusat dan Jogja adalah cermin miskin bijak serta ketidakmampuan seorang Mendagri mengatasi manajemen pemerintahan dalam negeri serta tindak tanduk Sultan Jogja yang berpolitik praktis. Ketika bawahan (Mendagri) tidak mampu memerintah Sultan Jogja, SBY ikut turun bicara apalagi ketika Sultan Jogja sebagai petinggi parpol Golkar, kemudian merapat dan berani mengkritik Pusat melalui Nasdem, sudah terjadi disharmoni yang tidak alami bagi Jogja.

Gajah bertarung pelanduk mati di tengah. Gajah Sultan Jogja berlindung di balik rakyat. Gajah SBY sudah terlatih bersilat muka. Rakyat Jogja masih suka 'diistimewakan'. Memang istimewa karena melindungi Sultan, bukan sebaliknya.

Rasa istimewa yang membawa harga diri terlihat kelewat tinggi, yang terlihat kikuk ketika bantuan bencana sejak gempa 2006 hingga Merapi. Harga diri mbah Maridjan yang kelewat tinggi dan dinilai tinggi oleh banyak orang Jogja demi harga diri keraton feodalis bahkan melampaui hak asasi kehidupan yang bahkan telah ditiupkan peringatannya oleh alam melalui berbagai corong-corongnya. Harga diri orang Jogja yang tidak suka kalau orang bukan Jogja berbicara tentang Jogja. Harga diri yang membuai dalam alam feodalisme. Yang ditutupi dalam segala ketidak 'langsung to the point' dalam segala gerak laku kehidupan sehari-hari.

Hakikat sebagai pusat pendidikan yang menuju pada kemandirian pribadi masih jauh panggang dari api. Di saat seluruh dunia saat ini monarki menjadi barang yang hampir punah. Monarki Jogja telah dipoles dalam 'keruwetan dan kompleksnya'  filosofi Jawa, mampu bertahan hingga saat ini adalah karena kebijaksanaan Sultan Hamengku Buwono IX yang konon adalah manusia waskita, bisa membaca jaman dengan membuat Jogja jadi istimewa sewaktu bergabung dengan Republik Indonesia.

Heboh dan goyangnya Jogja mungkin karena Sultan Jogja yang sekarang kurang waskita. Muhammadiyah yang kuat di Jogja sedang berdiam diri. SBY kemarin menginap 2 hari di Surabaya di Rumah Gubernur, Gedung Grahadi, entah lain kali masih bisa nyenyak-kah beliau nantinya tidur di kediaman Presiden di Jogja.

Antara bapak dan anak, biarkan si anak masih suka bermain dengan mainannya, jangan mainan itu direbut, dibuang, si anak dipaksa dewasa.  Sangat tidak alami.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline