Jakarta, 11 Juni 2021. Kebijakan Pemerintah dalam menstabilkan perekonomian negeri menuai polemik masyarakat yang luas, terkhusus dalam Revisi ke 5 UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal saat ini sebagai RUU KUP. Pangan Publik mengamati bahwa Rencana perubahan UU ini sudah masuk dalam jadwal pembahasan PROLEGNAS DPR RI untuk tahun 2021.
Adanya rencana kebijakan PPN 12% berdampak terhadap beberapa sektor seperti Bahan Kebutuhan Pokok Pangan, Hasil Pertambahan dan Pengeboran, serta Objek Jasa.
Sebagai tambahan, PPN dikatakan sebagai pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP). Adapun pelaku yang membayar PPN adalah konsumen akhir (pembeli).
Pangan Publik ketahui kurun waktu tahun sebelumnya, sembako atau bahan pangan pokok sebagai kebutuhan masyarakat telah dibebaskan dari PPN sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Kategori 11 Bahan Pokok Pangan yang akan dibebankan PPN 12%, seperti ; Beras, Gabah, Jagung, Sagu, Kedelai, Garam, Daging, Telur, Susu, Buah-buahan, Sayur-sayuran.
Dalam hal ini, dipaparkan jelas berkas rumusan RUU Ketentuan Umum Perpajakan memiliki tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini.
Ke-1. Atas tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen.
Ke-2. Atas tarif rendah sesuai dengan skema multi tarif sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah.
Ke-3. Atas tarif PPN final sebesar 1 persen.
Pengurus Pusat Pangan Publik Indonesia mengkhawatirkan dampak luas atas wacana pembebanan PPN 12% terhadap Kebutuhan Bahan Pangan Pokok, karena akan mengurangi sikap daya beli bagi masyarakat, pun produsen akan merasakan imbasnya, apalagi negeri masih dalam dilema COVID 19.